Membaca Denyut Sulawesi dari Desa-Desanya

Sulawesi  atau Celebes adalah pulau terbesar ke-11 di dunia, di bawah Papua, Kalimantan dan Sumatera. Nama Celebes diperkenalkan oleh orang-orang Portugis pada abad ke 14-15. Mereka menandai pulau berbentuk huruf K itu sebagai penghasil biji besi.

Ada juga yang mengatakan bahwa nama Celebes dari kata Sele’ Bassi atau keris besi, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa nama Sulawesi berasal dari Sulawesi bagian tengah dari kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi (logam). Jantung Sulawesi memang menyimpan biji besi yang banyak terutama dari Sorowako dan sekitarnya.

Apapun itu, sejarah Sulawesi adalah sejarah panjang nan penting bagi Indonesia, sebagaimana dia melahirkan Kerajaan Maritim Besar Gowa-Tallo di abad ke 16 atau kerajaan-kerajaan pesisir seperti Gorontalo hingga Buton. Menurut catatan para pengelana Eropa pada abad ke-13, pada saat itu jalur perdagangan produk perkebunan, tanaman liar hingga biji besi mulai menggeliat.

Pelaut Portugis mendarat di Sulawesi pada tahun 1525 dengan misi mencari emas kemudian disusul Belanda yang datang pada tahun 1605, menyusul Inggris. Mereka kemudian mendirikan atase perdagangan dan pabrik pada tahun 19660 sebelum Kerajaan Gowa dibombardir oleh Laksamana Speelman dan rontok pada tahun 1660 yang ditandai oleh perjanjian Bungaya oleh Sultan Hasanuddin.

***

Sulawesi adalah keindahan sekaligus bukti kesempurnaan kreasi Sang Khalik. Pertama kali melihat sisi barat Sulawesi adalah dalam perjalanan dari Makassar ke Bitung dalam tahun 1994. Melintasi Mamuju, menyusuri sisi barat Palu dan berlayar ke Bitung. Di tahun itu untuk pertama kalinya melihat puncak Manado Tua, kemudian memutar ke Kwandang, Gorontalo lalu naik Ternate, Ambon dan Bau-Bau.

dsc-0292-jpg-58d0c94d769773c46f5bbfed
Pemandangan danau Matano di Sorowako (foto: Kamaruddin Azis)

Lima tahun kemudian, bersama belasan warga Taman Nasional Taka Bonerate, kami naik bus dari Kota Manado, ke Gorontalo, Poso, Tentena, Luwu hingga Makassar.

Perjalanan tiga hari dua malam itu meski menyiksa raga namun memberikan lansekap yang nyaris utuh tentang Sulawesi, gunung, pedalaman, tebing-tebing curam, hutan lebat hingga pesisir nan elok sebagaimana terlihat di sepanjang pantai Sulawesi Tengah sebelum masuk ke rerimbun hutan Luwu Raya.

Sulawesi adalah kekayaan sekaligus harapan. Di bidang pertanian, Sulawesi adalah penyuplai beras nasional, demikian pula perkebunan, peternakan. Kakao-kakao dari Kolaka, Parigi, Luwu adalah pernik keunggulan, demikian pula isi buminya. Perusahaan-perusahaan tambang top silih berganti datang demi emas, nikel bahkan tambang minyak.

Di pesisir dan laut, Sulawesi adalah penghasil udang, bandeng, ikan karang hingga berton-ton rumput laut. Di pesisir dan laut warga bermukim dan mewarnai denyut sejarah pulau yang oleh Wallacea disebut sebagai pulau dengan ciri khas unik.

Sulawesi memikat hati seorang Alfred Russel Wallace. Ilmuwan asal Inggris itu menyiginya pada tahun 1856 dan1857 kemudian datang lagi pada tahun 1859.  Sebagaimana kita, Tuan Wallacea sungguh terpesona, pada hutan, tanah, air dan segala yang berkerumun di antaranya.

Desa

***

Pada tahun 2008, pada tanggal 18 April, saya mendapat kesempatan bertemu beberapa kawan di salah satu hotel di Makassar. Mereka datang dari Kota Manado, Gorontalo, Palu, Mamuju, Kendari, hingga Makassar.

Saya menyimpan beberapa bagian dari obrolan dan cerita mereka tentang desa-desa yang mereka kenal. Mereka juga menarik simpulan tentang realitas dan tantangan di desa-desa tersebut.

Intinya mereka bercerita tentang sumberdaya alam yang ada di desa yang mereka kenal, tentang kondisi desa, sumber daya alam, hingga daya tahan sosial. Penting untuk menambah pemahaman kita bagaimana desa-desa di Sulawesi terbentuk, bertahan dan berkembang. Berikut paparannya.

Rongi di Buton

Saya memanggilnya Jeto. Dia bercerita tentang Desa Rongi, salah satu desa tertua di Kabupten Buton.

“Secara topografi, ini desa berbukit. Wilayahnya kering. Sumberdaya alam yang ada yaitu, kelapa, pisang, jagung, ubi kayu dan padi ladang.  Peternakan, ada kambing dan ayam,” sebut Jeto

Menurutnya, di desa itu ada beberapa areal hutan adat. Warga Rongi sendiri kemudian mengklaim bahwa hutan adat ini milik desa adat mereka meski secara administrasi wilayah hutan sebagian bukan masuk wilayah Rongi.

Hal yang kemudian menurut Jeto menjadi bahan perdebatan karena menjadi simpul keterkaitan fungsional antara pembangunan, kepentingan ekonomi dan pengakuan atas hak-hak warga.

“Jumlah penduduk 2.000 jiwa atau 500 – 600 KK. Ada lembaga masyarakat seperti LPM, Karang Taruna. Fasilitas Umum yang ada masjid, puskesmas, listrik, bak penampungan air dari air hujan yang ada. Budaya masyarakat mewarisi sistem pemerintahan Kesultanan Buton,” paparnya.

59096498
Desa Rongi (foto: geoview.info)

“Dari sisi keorganisasian sosial budaya ada Kaomu, Walaka, Papara. Kaomu adalah yang berhak menjad Sultan. Walaka, semaca legislatif sementara Papara adalah rakyat biasa. Acara pernikahan masih menggunakan adat Buton dalam artian ada mahar istilah boka. 1 boka = Rp.12.500),” sebutnya.

Jeto menyebut juga istilah Posuo, yaitu istilah pingitan bagi anak baru gede (ABG) yang mau masuk remaja.

Untuk meneruskan hidup di desa, warga bercocok tanam seperti jagung dan padi ladang maupun memperoleh hasil dari hutan adat.

“Selain itu, kebanyakan masyarakat ke kota mencari penghasilan,” katanya.

Menurut Jeto, tradisi atau tata nilai masih berlaku di Rongi. Kaitannya dengan eksistensi Kesultanan Buton dan pernak-pernik sosial budaya.

“Kalau ada melanggar aturan, misalnya kalau ada Kaomu yang mengawini Papara atau Walaka mengawini Papara maka gelar kebangsawannya dicabut.  Ada lembaga adat, yang mengatur harmonisasi sosial di tingkatan masyarakat,” katanya.

1456279233__di_desa_rongi_kecamatan_sampolawa_beberapa_waktu_lalu__foto_irvan
Pernik tradisi di Desa Rongi (foto: Tribun)

Di ujung cerita, Jeto mengatakan bahwa kekhasan Desa Rongi di Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara adalah masih adanya hukum adat. Hukum yang mengatur sendi kehidupan warga pada relasi sosial, budaya, keagamaan bahkan pada pemanfaatan kayu.

“Harmonisasi sosial teratur karena kerja-kerja lembaga adat ini. Sejujurnya, Cuma mengalami dinamika seiring peta politik dan peran tokoh-tokoh masyarakat.” Tutup Jeto.

Talise di Likupang

Sekarang kita dengarkan cerita Eron Sumampouw dari Sulawesi Utara.

Dia bercerita tentang Desa Talise, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara. Talise adalah desa kepulauan, berada di pesisir pantai, berpasir dan berbatuan.

“Potensi alamnya ada, seperti perikanan, kerang mutiara, rumput laut, kehutanan seperti kayu eboni. Ini merupakan desa alami, Sejak ekspansi VOC dengan perkebunan kelapa mereka mempekerjakan suku Sangir,” kata Eron.

“Jadi waktu jaman VOC, Belanda ambil suku Sangir, mereka bawa ke desa Talise untuk bekerja kelapa. Kemudian nelayan di situ ada suku Bajo yang mencari nafkah, ini ada daerah suku Bajo.  Di sini tempat bermukimnya pengusaha kelapa orang Belanda.  Kemudian dijadikan desa secara resmi setelah Perang Dunia II,” katanya.

“Luas darat Talise sekitar 49 km2, luas laut 46 km2. Jumlah penduduk kurang lebih 1.600 jiwa dan ada 400 KK. 40% merupakan Suku Sangir. 40% Suku Bajo dan 20% Minahasa,” estimasi Eron.

“Karena di desa banyak pohon kelapa maka banyak pula profesi pemanjat kepala, ada pula karyawan perusahaan budidaya Kerang Mutiara dari PT. Koroguci, orang Jepang punya.  Lembaga masyarakat ada, BPD, kelompok nelayan, KUA,” sebutnya.

Eron bercerita bahwa di Talise ada masjid 1 unit, ada 4 gereja, sekolah SMP dan SD, Balai Desa, Pembangkit Listrik, lapangan olahraga dan fasilitas air bersih.

“Tentang budaya, ada pengetahuan lokal bernama Labuan, yaitu cara penangkapan ikan secara tradisional.  Ada pula budaya Masampir, kemudian ada budaya dari suku Sangir. Pendidikan masyarakat mayoritas tidak lulus SD. Karena mereka diajarkan untuk cepat cari uang, jadi nelayan,” ungkapnya.

“Di sini itu rumahnya banyak yang bagus – bagus, ada banyak antenna parabola. Jadi anak-anak di situ tidak diajarkan bagaimana jadi sarjana, tapi diajarkan bagaimana dapat uang.  Kemudian di dusun 1 dan 2, di pulau besar rata-rata tamat SMU dan sarjana. Masyarakat bertahan atau berkembang karena tersedianya sumberdaya alam yang memadai.  Dan memiliki kearifan lokal yaitu kearifan Labuan. Di sini ada lokasi penangkapan ikan, di atas pulau kecil,” papar Eron.

Menurut Eron, Desa Talise bisa bertahan karena 2 kekuatan emosional dan spiritual.  Di sana ada 2 suku yaitu Sangir dan suku Bajo.

“Suku Sangihe atau Sangir itu biar tidak makan asal sudah berkumpul dalam sebuah wadah yang namanya Masamper.” Katanya.

desa-tambun-talise
Pemandangan di Talise (foto: Mongabay)

Eron mengatakan bahwa keunggulan Suku Sangir adalah kebersamaan, biar hanya makan ubi, karena komunitas mereka itu makanannya hanya ubi dan ikan, jarang makan beras.

Masamper, caranya dalam sebuah komunitas kecil, misalnya selesai menangkap ikan mereka sudah makan bersama di situ, mereka penuh suka cita sehingga kemudian mereka kuat.  Dan mereka tidak mudah dikalahkan walaupun secara ekonomi.  Kuat bertahan dengan menggunakan Massamper ini,” sebut Eron.

Tak hanya terkait Massamper, Eron bercerita tentang Patwair, upacara syukuran setelah kegiatan usaha. Ini menjadi wadah membangun komunitas menjadi kuat.  Digunakan dalam acara misalnya acara kematian, nikah.

“Itu menggunakan Patwair. Semacam kalau di barat itu dansa, kalau di Jawa itu Jaipong,” kata Eron.

Menurut Eron, kekuatan mereka ada di sini, mereka membangun kekuatan dengan wadah seperti ini, sehingga dimana-mana mereka sangat kuat, di Makassar sampai muncul ada nama Jalan Sangir.

“Komunitas mereka kuat karena selalu mau berkumpul dalam masamper.  Inilah pertemanan mereka yang sangat kuat.  Inilah yang dibangun sampai saat ini dan mungkin sampai yang akan datang. Terima kasih,” tutup Eron.

Guliling di Kalukku

Setelah mendengarkan dua cerita dari dua tempat berbeda, mari kita ke pantai barat Sulawesi.

Di Sulbar itu ada lima kabupaten, pada jaman dulu kita kenal istilah Pitu uluna Salu, Pitu babana binanga (Tujuh kerajaan di Gunung dan Tujuh Kerajaan di Pantai).  Mereka bersepakat membuat wilayah kerajaan namanya Kerajaan Balanipa, tetapi banyak kerajaan yang ada di dalamnya.

“Kita ambil satu sampel,” kata Yusuf asal Sulawesi Barat.

“Namanya Desa Guliling berada Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju.  Saya ingin jelaskan dulu. Mamuju ada 4 kerajaan induk. Kerajaan Tappalang, Kerajaan Mamuju, Kerajaan Sambaga dan Kerajaan Karossa. Dari 4 kerajaan ini menyebar menjadi 15 kecamatan,” kata Yusuf.

“Tetapi dari sisi kultur mereka punya kultur masing-masing.  Yang kesemuanya Tappalang–Karossa berada di garis pantai, dan panjangnya 680 km. Sekarang terpecah menjadi 2 kabupaten, Mamuju dan Mamuju Utara,” katanya.

Guliling terdiri dari Dusun (6 dusun), ada namanya dusun Kona, ada dusun Rea, Tandiassa, Batutendang, Batulakka, Rantekallua. Semuanya berada diatas ketinggian (Pegunungan).

“Dulu waktu Westerling, di Galung Lombo, terjadi pembakaran kampung. Sewaktu matahari terbenam terjadi pembakaran ramai-ramai di sana lalu banyak yang pindah ke tempat ini sehingga Etnis besar (Toraja Mamasa dan Mandar),” katanya.

Yusuf bercerita tentang perkembangan Desa Guliling. Berkembang sejak tahun 1950, dan mulai ramai sejak masuk Inhutani pada tahun 1990 an.

Ketika jalan raya dibuka antara Majene dan Mamuju pada tahun 1984 kampung-kampung yang selama ini terisolir dan hanya ditempuh dengan perjalanan laut atau gunung mulai memperoleh aliran informasi.

“Dulu itu, Mamuju atau Majene adalah daerah terisolir.  Makanya dulu kalau ada pegawai nakal di Sulawesi Selatan, kalau pembuangannya itu hanya dua tempat, kalau tidak di Mamuju di Selayar,” kata Yusuf.

“Tapi sekarang rata-rata orang yang tinggal di Mamuju tidak mau kembali ke kampung asalnya.  Karena sudah luas coklatnya dan luas sawitnya.  Ada beberapa kearifan yang kita gali sebagai sebuah potensi, awalnya hanya ada beberapa rumah sebelum 1950an dan setelah terjadi perpindahan penduduk, kebiasaan masyarakat gunung itu, nomaden atau bercocok tanam secara berpindah-pindah.

“Nanti setelah datang masyarakat dari Tinambung, Balanipa dan sekitarnya pindah ke sana dan kemudian dari Mamasa dan ada juga dari Bugis Pinrang, Enrekang yang masuk ke daerah ini maka diolahlah daerah ini menjadi satu kampung,” cerita Yusuf.

Desa berkembang pada dua komunitas besar dari sisi kepercayaan yaitu Islam dan Kristen.

“Yang menjadi penghasilan mereka rata-rata berkebun coklat dan kemiri. Ada hutan, kayu hitam, eboni. Yang bisa ambil hanya masyarakat sini ada sawah tapi hanya untuk makan,” katanya.

Desa-Guliling5-700x525
Suasana Desa Guliling (foto: http://vibizmedia.com)

“Di desa itu terdapat sekurangya 300 KK yang terdiri dari laki-laki 757 orang  dan Perempuan 755 orang. Jumlah keseluruhan 1.502 jiwa. Mata pencaharian, petani coklat, kemiri dan ada hasil hutan seperti rotan,” sebutnya.

“Masyarakat Desa Guliling diikat oleh lembaga keagamaan. Manakala ada hari maulid, kita undang datang, sebaliknya kalau Natalan berbondong-bondong masuk ke gereja. Begitu juga adat perkawinannya, kalau ada Kristen menikah dan pestanya di gereja, makanan dikelola oleh orang Islam bagi tamu Islam.  Kalau yang daerah orang Kristen semua, maka diundang orang Islam untuk mengelola makanan itu. Ada 2 juru masak, 1 untuk tamu Islam dan satu untuk Kristen,” ungkap Yusuf.

“Di sini ada hutan, yang bisa mengambil hanya masyarakat sini,” kata Yusuf terkait sumber papan dan pangan warga desa.

Torosiaje di Pohuwato

Mari ke utara lagi, ke Gorontalo. Kita dengarkan cerita Ansar.

“Namanya Desa Torosiaje, desa unik dari teman-teman lain. Luasnya 10 ha, bukan darat tapi di atas laut, didiami oleh suku Bajo.  Rumah panggung di atas laut yang berada di pesisir Teluk Tomini,” kata Ansar.

Dia melanjutkan. Torosiaje ini berasal dari dua kata yaitu Toro berarti tanjung dan Siaje berarti haji.  Suku Bajo datang ke wilayah ini, sekitar tahun 1800an, yang pada waktu itu, yang dibawa oleh Punggawa Suppa berasal dari Semenanjung Malaka.

Torosiaje dapat ditempuh dari Tojo Una-Una selama 6 perjalanan roda empat. Dan lebih dekat ke Parigi Mautong kalau kita lewat laut.   Di wilayah perkampungan Torosiaje ini ada 2 pulau, ada namanya Pajepakiki dan Pajedaa. Penduduknya sekitar 600 KK. Ada 1 masjid, kantor desa, Sekolah Dasar (SD), Puskesmas Pembantu. Sebagian besar masyarakatnya tergantung laut.

“Potensi sumberdaya alam, hasil lautnya, ikan.  Di bawah rumah ada budidaya ikan kerapu, lobster, ada pengembangan mutiara, ada salah satu perusahaan di sebelah timurnya yaitu dari Jepang melakukan budidaya mutira di wilayah Torosiaje,” kata Ansar.

Parak dari Selayar

“Assalamualaikum. Kami akan gambarkan suatu desa di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Desa Parak, di Kabupaten Selayar. Parak ada di Kecamatan Bonto Manai, dengan jarak 5 km dari ibukota kabupaten (Benteng).  Secara geografis berada di wilayah pantai Barat pulau Selayar,” cerita Mastan, peserta dari Selayar.

dsc_0094
Penulis di salah satu sisi Selayar (foto: dok. pribadi)

Dia melanjutkan. Luas Parak 12 km2, panjang garis pantai 5 km, 0-2 mdpl. Merupakan daerah pasang surut yang seringkali mengalami pasang surut air laut, daerah peralihan.

“Jumlah penduduk  1.300 jiwa atau sekitar 400 KK. 700 jiwa perempuan dan 600 jiwa, laki-laki. Suku Makassar Selayar (Gowa, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba), Bugis (Bone dan Sinjai) dan Bajo, Buton, Jawa, Tator-Mandar.

Mastan bercerita tentang kondisi umum desa berikut data-data statistik yang diketahuinya seperti mata pencaharian. Warga Parak adalah nelayan, petani, pedagang, PNS yang kebetulan tinggal di Desa Parak hingga buruh tukang batu. Lembaga desa yang ada seperti BPD, Lembaga adat, Karang Taruna, majelis taklim, Kelompok TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an).

“Untuk kelompok nelayan, pedapatan masyarakat berkisar antara 300–500 ribu/bulan, kalau petani, 200 hingga 350 ribu/bulan.

“Terkait pengetahuan lokal yang saya lihat sekilas, bahwa ada suku Bajo yang mewarnai pemanfaatan Laut.  Ada yang namanya Panglima Menteng, memiliki otoritas untuk menentukan wilayah mana yang bisa untuk  pemanfaatan sumberdaya laut. Mengadakan barasanji untuk setiap acara yang sifatnya ramai-ramai. Sesajen Laut, ritual sebelum melaut. Unik,” papar Mastan.

“Kalau terkait perkawinan. Masyarakat menjadikan pohon kelapa sebagai patokan dalam mahar. Ada tingkatan masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial. Ada yang menjadikan mahar 22 pohon, 44 pohon, yang paling tinggi yang pernah saya dengar 88 pohon beserta tanahnya. Kelapa menjadi komoditi dalam budaya,” sebut Mastan.

“Parak adalah desa yang terbentuk sejak tahun 70-an,” kata Mastan.

Saat ditanya apa yang membuat masyarakat Desa Parak bertahan, Mastan menjawab, “Karena ada laut, ikan, kerang. Letaknya yang strategis karena di pesisir dan mudah diakses dari beberapa tempat. Saya pikir itu. Terima kasih,” pungkasnya.

***

Desa-desa di Sulawesi, mengalir meniti waktu sesuai dengan sumber daya alam yang dikandungnya. Dari sumber daya alam itu, seperti hutan, tanah pedalaman hingga laut mereka bersepakat membentuk nilai-nilai sosial, memilih pemimpin dan memilih cara merawat, mengelola dan memanfaatkannya.

dsc_0227
Tipikal pantai di Selayar (foto: Kamaruddin Azis)

***

Lumayan panjang yah ceritanya? Tidak apa.

Nah, jika membaca cerita makro dan mikro di atas, setidaknya kita bisa menempatkan warga desa atau komunitas di desa sebagai entitas yang terbentuk, bertahan, berkembang dengan memanfaatkan hutan, tanah, air.

Dalam interaksi antara manusia dan alamanya itu mereka sadar atau tidak telah terikat ke dalam satu sistem nilai dan keorganisasian turun temurun.

Pada cerita di atas, mereka mempunyai pola-pola relasi sosial seperti Massamper di Talise, atau  kelas sosial Kalmu, Walaka, Papara di Rongi, Buton.

Ke depan, kita perlu melihat bagaimana kecenderungan desa-desa ini bertahan di tengah kompleksitas relasi Negara – Desa, relasi sumber daya internal desa dan gelontoran sumber daya luar seperti Dana Desa atau proyek-proyek lingkungan, ekonomi dan pemberdayaan sosial.

Ditulis oleh Kamaruddin Azis, dapat dihubungi melalui email: daeng.nuntung@gmail.com.