Sekretaris COMMIT berbagi pengalaman dengan tim kerja Biorock Indonesia

COMMIT – Prinsip kemitraan atau sering disebut pula kolaborasi merupakan hal niscaya dalam membangun wilayah pesisir dan pulau-pulau. Dua aras pendekatan perubahan sosial seperti upaya teknokratik dan partisipatoris membutuhkan fasilitasi untuk tiba pada titik kolaborasi itu. Untuk bisa memfasilitasi maka diperlukan kapasitas yang memadai dan relevan dengan isu-isu yang ada.

Demikian, salah satu poin dari hasil ‘berbagi pengalaman’ yang dimediasi oleh Yayasan Biorock Indonesia yang menghadirkan sekretaris eksekutif Yayasan COMMIT, Kamaruddin Azis, 24 Agustus 2020.

Menurut Tasya Karissa, direktur Biorock Indonesia, kegiatan ini merupakan agenda rutin Biorock Indonesia dalam meningkatkan pemahanan dan kemampuan fasilitasi anggota tim kerja Biorock yang saat ini berproses di Pemuteran Bali, Lampung hingga Ambon.

Yayasan Biorock Indonesia adalah organisasi yang mendorong pelestarian ekosistem laut terutama terumbu karang dengan teknologi biorock, atau secara sederhana disebut sebagai akselerasi pertumbuhan karang dengan metode aliran listrik arus lemah.

Menurut Kamaruddin yang menjadi narasumber tunggal dalam temu daring ini, salah satu proyek yang inspiratif yang pernah diikutinya adalah JICA – CD Project yang digelar di Sulawesi antara tahun 2007 hingga 2012.

Di proyek ini, dia jadi paham dan merasakan bagaimana fasilitasi masyarakat, kemudian penguatan kapasitas perencana dan fasilitator masyarakat didorong agar bisa berkolaborasi.

“Tapi itu tidak cukup antara perencana OPD atau SKPD dan fasilitator masyarakat, pendamping LSM atau organisasi masyarakat sipil. Pengambil kebijakan harus paham pula tentang fasilitasi masyarakat dan bagaimana menghasilkan perencanaan yang baik,” katanya.

Teknik dasar

Sesuai pengalaman di JICA-CD Project, dia dapat berlatih bagaimana teknik observasi, wawancara faktual dan dapat memfasilitasi pengambilan keputusan bersama masyarakat.

“Hal mendasar namun sering diabaikan adalah teknik observasi, wawncara dan fasilitasi pertemuan masyarakat. Di sini, kita abai padalah perubahan yang direncanakan harus bersumber pada data dan informasi faktual,” katanya.

Peserta sharing dari Biorcok memberi tanggapan tentang bagaimana teknik membangun pertemanan atau berkomunikasi dengan masyarakat kaitannya dengan agenda-agenda bersama. Apalagi jika fasilitator datang ke warga desa ‘tanpa uang, tanpa proyek’ sebagamana disebutkan Kamaruddin.

Menurut Kamaruddin bahwa bekerja sebagai staf LSM, sebagai pendamping sebagai fasilitator masyarakat, poin pertama yang perlu dipahami adalah kita datang ke masyarakat untuk membantu mereka membaca realitas.

“Memeriksa andai saja ada masalah dengan unsur pembangunan mereka seperti sumber daya alam (hutan, tanah, air), norma atau keorganisasian,” sebutnya.

“Fasilitator yang baik harus mampu membangun pertemanan dengan warga, tidak sombong, tidak sok tahu. Biasakan mendengar dan memeriksa realitas masyarakat dengan observasi,” katanya.

Peserta lain juga menanggapi bagimana memastikan supaya persiapan pelaksanaan proyek bisa diterima oleh semua pihak sebab sesuai pengalaman Biorock, isu-isu seperti kejelasan status tanah, fasilitas yang dibangun untuk kepentingan masyarakat kadang bisa pula memunculkan persoalan.

Ada beberapa hal yang dibahas pada sharing tentang membangun kemitraan ini, semisal substansi pengembangan kapasitas menurut JICA, mengapa fasilitasi masyarakat penting, mengapa banyak proyek di pesisir dan pulau-pulau gagal.

Lalu disinggung pula perbedaan susbtansial antara fakta dan persepsi, cara sederhana mengidentifikasi data dan informasi faktual, perbedaan antara pendekatan teknokratis dan partisipatoris hingga bagaimana mendokumentasikan fakta-fakta lapangan melalui tulisan atau catatan reflektif bagi seorang fasilitator masyarakat.

Salah satu case yang dibagikan adalah bagimana kolaborasi atau kemitraan di Kabupaten Wakatobi yang diinisiasi oleh perencana, fasilitator masyarakat serta pengambil kebijakan.

“Kemitraan hanya bisa ada jika masing-masing pihak menyadari bahwa pada aspek tertentu dia tidak punya sumber daya. Dia merasa ada ‘gap’. Kalau mereka menyadari telah terpenuhi, kolaborasi biasanya tidak ada. Kemitraan tidak ada,” katanya.