Jalan tengah fasilitasi masyarakat menurut Direktur COMMIT Ashar Karateng

COMMIT –  Direktur COMMIT Foundation, Ashar Karateng berbagi pandangan terkait tantangan fasilitasi pembangunan masyatakat desa melalui pendekatan Participatory Local Social Development (PLSD) dan konsep Meta Fasilitasi ala Guru Wada Nobuaki.

Ashar menyampaikan itu pada sesi bagi pengalaman Pembangunan Masyarakat Desa menurut Konsep Meta Fasilitasi dan Mekanisme Kolaborasi kerjasama COMMIT Foundation dan Pelakita.ID, 6 Juli 2021.

Selain Ashar hadir pula Kepala Bappeda Takalar, Rahmansyah Lantara, Kepala Baperlitbang Pohuwato, Irfan Saleh, Sekretaris Bappeda Wakatobi, Nur Desiati Jalal, hingga Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Parigi Moutong, Zulfinachri.

Terlihat pula secara daring Bakhtiar Mustari, dosen Unhas yang juga narasumber Diklat Perencana CD Project, Sekretaris Bappeda Kota Palu, Ibnu Mundzir yang merupakan alumni Young Leaders Program JICA CD Project 2012, jejaring JICA seperti Ida Gosal, DJ Budiharto hingga Fatma. Alumni JICA CD Project seperti, Nirwana Anar, Jumardi Lanta (Makassar), Azis Gapnal (Palu), Nur Tosapati Bone (Gorontalo), alumni pelatihan fasilitator seperti Jumiadin Abas (konsultan Kemendesa), Nur Linda, hingga Muhammad Riswan dari Donggala.

Menurut Ashar, tekait Participatory Local Social Development PLSD, ada konsep Triagonal System yang menyebutkan empat sistem yaitu, local community system, household system, local administraton dan local market.

“Sampai enam atau tujuh yang tahun lalu seringkali kita masih kebingungan, local administration mana yang paling tepat. Pembelajaran kita menyebutkan local administration itu apakah adanya di pemerintah desa atau di mana, tetapi tidak ada kewenangan di desa, tidak ada kemampuan wajib dan seterusnya,” katanya.

“Dengan UU Desa, bahwa tempat local adminstration saat ini di Indonesia adanya di desa. sehingga dalam konteks PLSD, saat dimana transformasi, local societal system baru menemukan tempatnya. Ini berbeda, ketika dulu, kesulitan kita menempatkan local administration ini di desa atau kabupaten, dulu belum ada kewenangan dan anggaran,” tambahnya.

‘Prinsipnya UU desa ini kan memberikan kewenangan, anggaran dan aturan, sistem dan keempat memberikan pendampingan yang paling penting di sana,” imbuhnya.

Menurut Ashar di sinilah tantangannya saat bekerja di ranah adopsi PLSD itu.

“Pada saat yang sama, inilah tantangan paling besar, saat teman-teman bergerak di lapangan kita akan susah menyintesa pengalaman sepuluh atau dua puluah tahun lalu dalam konteks menggali insiatif masyatakat,” katanya.

“Kita belajar dari Wada, bahwa kata kunci pemberdayaan itu kan sebenarnya masyarakat, adalah pada ownership-nya. Ini bisa terbangun kalau ada partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Pada konteks mana? Pengagggaran. Inilah tantangan paling besar,” lanjutnya.

Menurut Ashar, saat melatih fasiltator masyarakat di JICA CD Project, peserta pelatihan ditekankan bahwa untuk datang ke desa, datang tanpa bawa uang, tanpa proyek.

“Saat ini, kita paling susah untuk melihat apa yang kita sebuat partisipasi masyatakat pada penganggaran, oleh karena itu dalam konteks ideal itu agak susah. Saya selalu mengatakan nampaknya kita harus mengambi jalan tengah pemberdayaan,” katanya.

“Jalan tengah karena bagaimana pun kita harus jalan, dan tantangannya ada, termasuk dalam pegalaman 4 tahun bekerja pada konsultasi dan fasilitasi perusahaan tambang. Paling susah adalah owenership dari masyarakat,” katanya.

“Paling susah mengajak masyarakat berkontribusi pada pendanaan. Ketika kita datang membawa bendera JICA saat itu pada masyarakat desa, kita pidato mungkin tiga sampai empat menit, bicara terima kasih, tetapi kalau kalau dalam bidang yang saya tekuni, pada perusahaan, ini sangat berbeda,” tambahnya.

Ashar menyebut bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, kini maupun ke depan.

“Pertama, bagaimana menempatkan desa sebagai pusat local societal system, bisa ditelaah lebih jauh berdasarkan pengalaman dari pengambil kebijakan, perencanaan maupun di level fasilitasi masyarakat. Bagaimana peran local administration system, pada empat atau lima tahun terakhir bisa bertransformasi, terkait local societal system kita,” paparnya.

“Kedua, bagaimana menyiasatinya, yang memang tidak bisa kita hindari tentang membangun ownership itu,” tambahnya.

“Ketiga, dalam aspek kapasitas, dulu kita selalu mengatakan bahwa fasilitator masyarakat itu sangat penting, sangat perlu, tetapi kita hampir tidak bicara itu lagi saat ini, tapi yang penting adalah fasilitasi atau fasilitator masyarakat seperti apa yang kita butuhkan,” lanjutnya.

“Sekarang seluruh program selalu meniscayakan pentingnya unsur ini. Dalam konteks ini kita ada tantangan baru, sudah ada fasilitator, menempatkan fasilitator, bahwa fasilitator masyarakat sudah secara resmi ditempatkan oleh negara, yang mungin akan berbeda dengan paradigma itu dan yang penting dan kita perlu refleksikan terkait metafasilitasi ini,” tutupnya.