COMMIT Foundation, 9 tahun bertransformasi bersama komunitas

COMMIT – Sejak berdiri dalam tahun 2012, lembaga konsultan dan fasilitator pembangunan daerah Community Initiative for Transformation atau COMMIT Foundation adalah pembawa spirit dan manifestasi konsepsi pembangunan daerah melalui mekanisme kolaborasi dan berbasis masyarakat. COMMIT, kini memasuki gerbang satu dekade eksistensinya.

Penulis mencatat betapa COMMIT telah menjadi wahana konstruktif untuk ‘agenda setting’ pembangunan daerah ke depan yang mendepankan pembangunan kapasitas sesuai prinsip transformasional berbasis masyarakat. Agenda setting yang dimaksudkan adalah bagaimana upaya mengisi gap pasca tumbangnya Orde Baru yang sentralistik pada pelaku pembangunan daerah.

Betapa tidak, dominasi negara yang sungguh kuat selama Orde Baru telah mematikan inisiatif dari grassroot. Peran negara begitu dominan sehingga para pemangku pembangunan daerah seperti kikuk atau tak kapabel saat gong desentralisasi perencanaan dan implementasi pembangunan diserahkan ke daerah, apalagi desa, pun komunitas yang terbiasa direpresi secara sosial, ekonomi dan politik.

Itu pula yang menjadi alasan mengapa proyek seperti JICA CD Project atau Sulawesi Capacity Development Project dijalankan dalam tahun 2007. Proyek ini menekankan berjalannya praktik pembangunan daerah melalui inisiatif mekanisme kolaborasi dan berbasis masyarakat pada sekurangnya 29 kabupaten/kota pilot di Sulawesi.

Ciri khas proyek tersebut adalah meretas konstruksi pembangunan daerah yang tidak semata bertumpu pada perencana (planners) di OPD yang diperkuat, atau pendamping masyarakat (fasilitator) yang dilatih tetapi juga kemampuan memfasilitasi untuk bergerak bersama membangun daerah sesuai kondisi spesifik daerah dan bertumpu pada komunitas. Dia lahir untuk mendorong lahirnya komitmen menumbuhkembangkan spirit kolaborasi di antara pemangkukepentingan terutama pengambil kebijakan.

Pengambil kebijakan perlu untuk memahami konsepsi ini agar berinisiatif dan berkomitmen untuk mengalokasikan sumberdaya pembangunan daerahnya sesuai potensi atau kondisi spesifik daerahnya termasuk kemampuan pembiayaan program dan melibatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan.

Penguatan ketiga lapis itulah yang menjadi ciri khas proyek sekaligus menjadi misi perjuangan COMMIT Foundation sejauh ini.

Ada sekurangnya 8 kabupaten di Sulawesi yang telah menjalankan konsepsi ini sejak tahun 2009. Mereka menjalankan program pembangunan daerah secara mandiri dengan mengalokasikan dana APBD untuk pengembangan kapasitas fasilitator di desa, memperkuat perencana melalui pelatiah dan beragam pertemuan konsultatiif serta aksi-aksi lapangan dalam membangiun potensi daerah seperti hasil kelautan dan perikanan, perkebunan, perhutanan sosial hingga mitigasi perubahan iklim.

Beberapa kabupaten yang telah menjalankan konsepsi tersebut dicirikan oleh komitmen pengalokasian anggaran untuk pengembangan kapasitas dan model mekanisme kolaborasi tersebut seperti Pemerintah Kabupaten Takalar dan Selayar di Sulawesi Selatan, Kabupaten Pohuwato di Gorontalo, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Konawe Kepulauan di Sulawesi Tenggara hingga Kabupaten Parigi Moutong di Sulawesi Tengah.

Beberapa kabupaten tersebut mempunyai ‘fasilitator masyarakat atau community facilitator’ pembangunan masyarakat yang lahir dan berproses bersama JICA CD Project – dan di saat yang sama para perencana OPD yang juga dilatih dari proyek yang sama – serta pengambil kebijakan bahu membahu menjalankan mekanisme kolaborasi tersebut.

Yang membanggakan beberapa alumni perencana atau fasilitator alumni JICA CD Project telah memegang posisi penting di daerah masing-masing, semisal menjadi Kepala Bappeda Provinsi, Bappeda Kabupaten atau Sekretaris Bappeda. Beberapa alumni JICA CD Project menjadi kepala desa, anggota legislatif, dari kabupaten hingga DPR-RI.

Pada rentang waktu yang sama, COMMIT Foundation sebagai organisasi eksis dan terus mendorong transformasi pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan spirit transformasional melalui pengembangan kapasitas dan praktik bersama, melalui penjajakan bersama, berlatih bersama dan memulai jalan perubahan.

Sejak berdiri pada tahun 2012 tersebut, tenaga ahli, para ‘master facilitators’ COMMIT mengambil peran pada berbagi level untuk mempromosikan prinsip mekanisme kolaborasi dan transformasi masyarakat melalui apa yang disebut konsepsi ‘Meta Fasilitasi’.

Konsepsi besutan penganjur perubahan sosial asal Jepang, Guru Wada atau Wada Nobuaki – ini menjadi ‘trademark’ COMMIT dan telah diadopsi di berbagi pelatihan dan seminar baik pada level lokal, nasional maupun internasional.  Konsepsi ini ingin menyederhanakan proses-proses fasilitasi dengan memindahkan daya upaya ke masyarakat dan menebas dominasi pihak luar (termasuk fasilitator).

Konsepsi Meta Fasilitasi, bisa dimaknai sebagai memindahkan ‘agenda setting perubahan’ kepada masyatakat dengan ‘memindai’ fasiliitasi proses, partisipasi, keputusan kepada masyarakat. “Masyarakat adalah penginisiatif itu sendiri.”

Untuk menjalankan atau mentransformasi itu, dalam praktiknya setelah masa CD Project, pada level lokal, master fasiltator COMMIT melatih para calon pendamping desa di berbagai kabupaten/ktota, di level provinsi memperkuat pendamping proyek-proyek seperti PNPM dan oleh Kemendesa dan PDT, memfasilitasi program kerjasama antardesa di Luwu Timur melalui skema CSR.

Salah satu penekanan atau pesan kefasilitatoran konsep meta fasilitasi itu adalah ‘memulai fasilitasi tanpa uang, tanpa proyek’. Tidak semua harus dengan uang, dana atau anggaran dari pihak luar. Komunitas sesungguhnya punya daya kapasitas tersedia, bisa sarana prasarana, tenaga sumberdaya manusia atau bahkan pengetahuan.

Di tingkat nasional, anggota tim COMMIT melatih pendamping desa untuk mengadopsi konsep dan ide itu. Ini bisa dilihat seperti pada program pembangunan pesisir dan pulau-pulau terluar nusantara bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, anggot tim COMMIT ikut menjadi fasilitator pada pelatihan pendamping desa pesisir dan pulau-pulau, melatih Pemerintah Desa di beberapa kabupaten/kota seperti di Supiori Papua, di Wajo Sulawesi Selatan, di Luwu Timur, di Wakatobi dan Konkep di Sultra, melatih pendamping desa dan kelurahan proyek CCDP-IFAD di Kota Makassar.

Selain itu, tenaga ahli COMMIT juga menjadi bagian dalam riset Corporate Social Responsiblity CSR seperti di Kepulauan Anambas Kepri, Saumlaki Maluku, hingga kajian sosial ekonomi di Barito, Kalimantan Tengah. Jalan panjang COMMIT di ranah kefasilitatoran juga telah diadopsi di program CSR PT Vale sejak tahun 2018.

Tim COMMIT juga terus berinovasi untuk proses bagi pengetahuan alumni dan publik. Selain memanfaatkan sosial media, website dan grup-grup daring, COMMIT telah meneguhkan eksistensinya dengan memproduksi buku-buku inspiratif kefasilitatoran dan keproyekan berbasis komunitas.

Beberapa di antaranya seperti dengan PT Vale tentang success story pemberdayaan masyarakat, CCDP IFAD tentang pemberdayaan masyarakat pesisir di Kota Parepare, YMP NTB untuk buku sanitasi dan isu kesehatan publik, dengan pelaku proyek Transformasi GIZ terkait pelayanan publik hingga pengelolaan hutan bersama Sulawesi Community Foundation.

Dengan jejaring COMMIT terutama di 6 provinsi di Sulawesi dan alumni JICA Project, COMMIT ikut serta dalam mempekuat kesiapsiagaan bencana dan pemulihan lokasi bencana. Jejaring COMMIT ikut menjadi bagian dalam upaya pemulihan Kota Palu, Donggala dan Parimo yang terdampak tsunami dan gempa bumi, demikian pula pasca gempa di Sulawesi Barat.

Kini, di tengah ketidakpastian karena pandemi COVID-19, kantor COMMIT di bilangan Batua Makassar, beradaptasi untuk menjadi ‘fasilitator alih pengetahuan millenials’ perintisan gagasan, kerja-kerja kolaboratif, pertukaran pengalaman dan pengetahuna hingga ikut serta dalam penguatan jejaring pemberdayaan masyarakat terbarukan.  Fasilitator yang tanggap dengan memanfaatkan sarana komunikasi dan telekomunikasi nirkabel atau daring, yang bisa mentransformasi ide, program dan nilai-nilai keberdayaan, kemandirian dan daya tahan sosial. Ini semua bisa terus berdenyut jika komitmen mekanisme kolaborasi dan upaya menjadikan masyarakat sebagai pengambil inisiatif perubahan terus terpatri di sanubari kita semua.

Satu tahun pandemi, atau jelang 10 tahun eksistensina, menjadi pejalaran bagi tim COMMIT bahwa fasilitator masyarakat yang cekatan di lapangan, di desa, di ladang, di kebun, di pesisir, pulau-pulau, atau yang terampil memfasilitasi pertemuan offline, pun, harus disertai kompetensi terbarukan untuk cekatan berselancar di dunia maya, daring, berbasis virtual.  Bukan hanya piawai menyiapkan konten (fakta lapangan), atau kabar dari orang perorang, realitas lapangan tetapi juga mentransformasikannya ke mitra-mitra lain yang sensitif isu-isu atau protokol pandemi.

Penulis: K. Azis (Sekretaris COMMIT Foundation)