Catatan Nur Sangadji: Inspirasi dari dua bupati dan satu wali kota

COMMIT – Akademisi Universitas Tadulako Palu yang juga salah satu founder COMMIT Foundation Ir. Muhd Nur Sangadji, M.Sc menceritakan hikmah pertemuannya dengan dua bupati dan satu wali kota di Sulawesi Tengah.

Seperti apa? Simak yuk!

***

Dalam sepekan di akhir Maret 2021, saya berkesempatan jumpa dua bupati dan satu wali kota. Berturut-turut berdasarkan waktu. Pertama, Bupati Sigi, Irwan Lapata. Kedua, Wali Kkota Palu, Hadiyanto Rasyid, dan ketiga, Bupati Poso, Verna Gladies Merry Inkriwang.

Ketiga mereka ini, baru saja terpilih pada Pilkada yang lalu.  Tentu, semangatnya juga masih baru. Banyak soal yang dibincangkan, mulai dari potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia  hingga manajemen pengelolaan kepemerintahan (governance management).

Kabupaten Sigi sebagai Kabupaten konservasi memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, unik, penting dan bernilai tinggi. Dia juga memiliki posisi tawar geografi bermakna konektivitas antar kawasan. Di hulu, bersebelahan dengan Poso, Luwu, Mamuju dan Donggala. Sedangkan, di hilir, terhubung sangat dekat dengan kota Palu.

Beberapa saat lalu, Kabupaten Sigi ini telah menyatakan Identitasnya secara berani sebagai Kabupaten konservasi. Ini pilihan cerdas karena memiliki potensi spesifik luar biasa. Di sini ada danau Lindu yang mengirim air ke Palu melalui Sungai Gumbasa hingga sungai Palu sepanjang masa.

Lantaran potensi unik tersebut, di kawasan ini terdapat taman Nasional Lore Lindu. Bupati bicara banyak hal, di antaranya pewilayahan komoditas.

Saya berpandangan, pertanian atau perkebunan skala rakyat, peternakan dan perikanan darat adalah pilihan yang tepat. Cocok dengan kondisi geografis wilayahnya. Luasan hutan yang terpelihara akan menjadi kunci bagi garansi daur hidrologi yang terjaga.

Dia menyuplai air untuk kebun, kolam ikan dan ternak. Serta, tentu saja manusia. Sudah lama, ahli menyebutkan “forest is a mother of agriculture”.  Saya malah bilang, forest is a mother of life”. Sebab, tidak ada mahluk yang dapat hidup tanpa air. Sedangkan, air dirawat ketersediaannya oleh hutan.

Setelah Bupati Sigi, saya jumpa Wali Kota Palu, Hadiyanto Rasyid. Tapi, jumpanya hanya virtual. Ada sekolah menggagas webiner bertajuk pentingnya bahasa asing bagi generasi.

Saya tertarik, maka saya ikut serta. Di sini Walikota yang menguasai bahasa Inggris dan Arab ini mengurai urgensi penguasaan bahasa asing di era kontemporer.  Menarik sekali. Bukan sekadar himbauan tapi, sekaligus memberikan teladan diri.

Saya sangat gembira, karena ini adalah kerja saya lebih sepuluh tahun terakhir bersama Om Arthur Pangemanan. Mengajari secara gratis, anak Indonesia di Kota Palu akan bahasa Inggris dan Perancis. Saya terinspirasi oleh dua pengalaman pribadi. Pertama, di kota Lyon-France. Kedua, di kota Melbourne dan Sidney Australia.

Di Lyon, saya ikut perkumpulan yang digagas kaum lansia. Namanya, “Les association des estudiantes stranger a Lyon France” (Asosiasi Mahasiswa Asing di kota Lyon-France). Tujuannya, membantu secara gratis, mahasiswa asing untuk lancar berbahasa Perancis dan tukar menukar kebudayaan. 

Sedangkan di Melbourne saya menemukan satu gereja kecil yang  punya program, mengajarkan bahasa Inggris gratis untuk mahasiswa asing. Di sebelahnya, ada Masjid Monash University yang sebulan sekali membagi sembako gratis.

Di kota Sidney, ada perkumpulan mahasiswa asing untuk belajar bahasa Inggris. Basisnya, sukarela dan cuma cuma. Mereka menginspirasi aksi kemuliaan. Karena itu, saya menduplikasinya sebagai contoh.

Saya berpikir, Wali Kota tidak perlu menguras APBD untuk beasiswa besar besaran. Cukup memfasilitasi lahirnya grup bahasa asing untuk rebut beasiswanya di dalam maupun luar negeri. Hidupkan perpustakaan dan atau ruang publik lainnya.

Di sini, selain pemantapan bahasa, mereka juga diajari cara mengakses informasi dan strategi peroleh beasiswa. Anak anak potensial yang berjiwa mulia itu banyak di kota Palu. Selama ini pun, mereka bergerak sendiri. Sayang, kalau potensi kesukarelaan ini tidak di support atau dimanfaatkan.

Hal terakhir yang saya ucapkan kepada Wali Kota Palu inilah yang cukup panjang saya diskusikan dengan Bupati dan Wakil Bupati Poso. Tentang, keikutsertaan masyarakat dalam agenda pembangunan (communty participation).

Kala itu, kami, pemerintah dan masyarakat lingkar danau yang dimotori NGO Mosintuvu, sedang membahas agenda Geopark Danau Poso, sebagai danau purba terbesar ke tiga di Indonesia.

Ada dua energi pembangunan yang tidak konvergen selama ini. Pertama, agenda pemerintah yang tidak di dukung masyarakat. Dan kedua, agenda inisiatif masyarakat yang tidak dianggap atau dipedulikan oleh pemerintah.

Negara Jepang memberi satu contoh yang unik. Pemerintah mereka sangat perkasa. Merasa mampu segalanya, SDM (mental model dan teknologi)  hingga finansial (budget supporting).

Segalanya berjalan baik baik saja. Tapi, bencana Kota Kobe tahun 1995 mengubah semuanya. Pemerintah sadar tidak punya arti tanpa dukungan masyarakat. Saat itulah, lahir organisasi  masyarakat sejenis NGO, bernama NPO (Non-Profit Organisation).

Contoh kebalikannya ada di Indonesia. Kita punya budaya gotong royong. Masyarakat berinisiatif secara bersama untuk agenda kehidupan mereka. Itulah identitas negeri. Tapi, makin lama kian memudar. Dirusak oleh mentalitas baru bernama proyek dan korupsi. Kepercayaan hancur lebur. Negeri ini terseok-seok menemukan kembali identitas (local wisdom) yang hilang ini.

Kiranya dua Bupati dan satu wali kota ini bisa memproduksi contoh baik (good practice) untuk digandakan. Menjadi pelajaran (lessons learned) yang mulia bagi generasi.

Salam kebajikan untuk ketiganya.  Melangkahlah dengan yakin untuk kemaslahatan, karena rakyat telah menorehkan rasa percaya.