Mengadopsi Konsep PLSD untuk Pembangunan Masyarakat Pesisir dan Pulau-pulau

COMMIT – Paharuddin Doddy, akademisi Politeknik Pertanian Unhas di Kabupaten Pangkep sebelumnya adalah pekerja LSM pada Yayasan Konservasli Laut di Makassar. LSM ini didirikan oleh sebagian besar alumni Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) Unhas di pertengahan tahun 90-an.

Setelah wara-wiri pada beberapa program atau proyek konservasi dan pengembangan masyarakat pesisir, Paharuddin, dan para alumni itu – bersepakat membentuk LSM. Maka berdirilah YKL di Makassar, dia hadir menambah daftar LSM pengabdi pesisir dan pulau-pulau di Makassar yang saat itu masih bisa dihitung jari. Beberapa LSM kuat yang giat di pesisir dan laut kala itu adalah Lembaga Pengkajian Pedesaan, Pantai dan Masyarakat (LP3M), LML hingga Yasindo.

Di awal tahun 2000-an, pria yang bisa disapa Doddy itu, mewakili YKL untuk menjadi peserta pelatihan Participatory Local Social Development (PLSD) yang digelar oleh FIK Ornop Sulawesi Selatan. Pelatihan seperti ini, sudah jamak dilakukan di Jepang untuk mencetak pelatih atau praktisi terkait PLSD sebagai ‘brand’ Prof Yutaka Ohama, konseptor PLSD duapuluhan tahun silam.

Menurut Doddy, saat itu, konsep PLSD memang merupakan contoh model fasilitasi pemberdayaan masyarakat yang sedang didorong oleh FIK Ornop Sulawesi Selatan. Doddy mengakui itu saat menjadi pembicara para Diksusi Zoom terkait PLSD yang digelar oleh IYKL Indonesia, Ikatan Sarjana Kelautan dan Indoesia ISKINDO  dan Lemsa, 13 Juni 2020. Ada 30-an orang yang hadir dalam diskusi ini.

Menurut Doddy, konsep PLSD menekankan pada perlunya kita (terutama aktivis LSM) untuk mempunyai kemampuan dalam membaca tiga unsur pembangunan dalam setiap tatanan yaitu sumber daya, organisasi dan norma atau RON (resources, organization and norm).

Pada ketiga unsur itu, menurut Doddy, yang berkaitan dengan rumah tangga (household) ada sembilan elemen yang bisa dilacak atau diperiksa untuk kemudian bisa dijadikan ide program.

Secara spesifik dia menyebut bahwa di dalamnya ada komponen resources atau sumber daya; unsur yang dikelola. Lalu organisasi berkaitan dengan pelaku pengelolaan sumber daya sementara norma atau aturan merupakan acuan organisasi dalam mengelola sumber dayanya.

Mendiskusikan peluang adopsi PLSD di ranah pesisir dan pulau-pulau (dok: istmewa)

Apa yang disampaikan Doddy di atas relevan dengan filosofi ‘participatory approach’ yang disebutkan pada banyak teori atau penekanan para ahli. Prof Darmawan Salman, salah seorang alumni PLSD Training di Nagoya Jepang, mengapresiasi refleksi atau diskusi terkait PLSD yang digelar di atas.

“Pasti pernah ikut diklat, dia tahu konsep-konsep dasarnya PLSD,” tanggapnya terkait paparan Paharuddin Doddy.

Prof Darmawan yang merupakan salah seorang tenaga ahli Yayasan COMMIT, organisasi yang banyak mendorong konsep-konsep pembangunan seperti PLSD dan Meta Fasilitasi juga pernah menegaskan bahwa dalam program pemberdayaan masyarakat pendekatan atau prinsip partisipatif dapat dimaknai sebagai “proses belajar berdasarkan pengalaman” (experience based learning process).

Masyarakat sebagai pelaku identifikasi masalah, merekalah yang menyusun rencana, mereka pelaksana kegiatan dan pelaku monitoring hingga evaluasi. Peran fasilitator pada konteks itu adalah menjadi pihak yang mendorong penyadaran (conscientization), pengorganisasian (organizing) dan politisasi/advokasi,” katanya pada satu kesempatan terkait hakikat PLSD dan adopsi konsep participatory approach ala PLSD itu.

Yang menarik bagi peserta diskusi yang digelar YKL, Iskindo dan Lemsa tersebut di atas adalah paparan mengenai dimensi sumber daya dan aktvitas yang berkaitan di dalamnya terutama para pesisir dan laut.

Doddy menyebut bahwa terkait sumber daya, kita bisa memerika dimensi produksi, konsumsi dan manajemen. “Kalau kegiatan, ini berkaitan pada aspek fisik, manusia, finansial atau teknologi. Saya kira di wilayah inilah kita, aktivis LSM seperti YKL, Lemsa atau siapapun untuk fokus dan mengkajinya. Dari situ kita simpulkan program apa yang bisa lahir di tengah masyarakat,” katanya.

Menurut Doddy, sesungguhya, di tengah masyarakat, kegiatan berlangsung sebagai Mutual Support. “Jadi sudah ada dalam masyarakat kegiatan saling bantu saling menguntungkan,” katanya.

“Lalu ada Resources Pool  atau pengumpulan Sumberdaya, Asset Management (Pengelolaan Asset), Resources Management untuk menghasilkan surplus lalu ada Village Autonomy (Otonomi Desa),” imbuhnya.

Pemantik bagi praktisi

Ada beberapa hal yang mengemuka dalam disusi terkait PLSD dan peran para pihak terutama ativis LSM kelautand an perikanan.

Menurut Andi Muhammad Ibrahim, mantan direktur YKL Indonesia menyebut konsep PLSD sangat fleksibel dalam pengertian bahwa konsepnya bisa diadopsi oleh Pemerintah, LSM bahkan sektor swasta.

“Tetapi yang bisa menjadi konteks poin yang menarik adalah PLSD itu bisa masuk di government dan non-government, bahkan di sektor profit itu bisa dipakai, perusahaan bisa mengambil sebagian konsep PLSD dalam konsepsi program,” katanya.

Paharuddin setuju bahwa dimensi PLSD juga dapat menyentuh aspek kebijakan dan bagaimana Pemerintah, LSM hingga swasta mengambil peran, baik dalam penyiapan data dan informasi terkait RON maupun analisis pada aspek mana yang perlu diperkuat atau dikembangkan dalam praktik pembangunan.

Kamaruddin Azis, sekretaris eksekutif COMMIT yang hadir dalam diskusi tersebut menyebut bahwa selain felksibilitas dan kebebasan untuk memilih aspek sebagai disebutkan A.M Ibrahim, apa, atau mana yang bisa didalami atau dijadikan entry program, konsep PLSD tetap perlu disesuaikan dengan konteks lokal atau situasi dimana ia dibutuhkan.

Menurutnya, PLSD juga perlu dilihat pada tingkat masyarakat, bagaimana itu ditransformasi dan dijalankan bukan semata ‘orang luar’ tetapi bagaimana masyarakat difasilitasi untuk menjadi bagian di dalamnya.

“Jadi penekanannya pada bagaimana masyarakat difasilitasi agar mereka menjadi penentu atau pembuat keputusan. Kesan yang ada selama ini PLSD hanya untuk orang luar, teknokratis semata,” katanya.

Poin yang ditekankannya adalah pada aspek perencanaan. “Bagaimana masyarakat menjadi bagian dalan integral dalam perencanaan itu. Bagaimana inisiatif komunitas sejalan dengan intervensi program yang ada atau digagas,” sebutnya.

Ada banyak poin menarik dalam diskusi ini mulai dari sejarah LSM Kelautan di Sulsel, geliat Sarjana Kelautan di ranah pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau, isu destructive fishing yang tak hilang-hilang, riset dan penguatan kelompok hingga dimensi eksternal komunitas seperti peluang pasar atau dimensi keekonomian local market istilah yang juga disinggung di PLSP.

Poin menarik disampaikan Subhan Uya. Dia bercerita tentang bagaimana pada banyak pengalaman program dimana gagasan perubahan dalam tema pembangunan masyarakat tidak mudah terutama di pesisir.

“Terkait budidaya rumput laut misalnya, persoalannya sejak dulu selalu berkaitan dengan rantai pasar. Bagaimana harga dan akses modal, bagaimana penerimaan pasar. Bagimana mekanisme harga yang fair untuk rumput laut sebab sejauh ini produsen banyak tapi pembeli terbatas,” katanya. Menurutnya sejauh ini produksi rumput laut 90 persen diserap oleh pasar China.

Dia menekankan pada akses modal, pengorganisasian bisa jadi sudah sering atau dijadikan program tetapi yang lebih penting adalah bagaimana jangkauan pasar komoditas rumput laut itu sendiri.

Irham Rapy, peserta lainnya memberi pandangan mengenai perlunya memberi perhatian pada aspek yang lebih luas, tak sekadar komunitas setempat sebagai obyek dampingan. Dia menyebut perkembangan baru dalam praksis pemberdayaan masyarakat dengan menyebut betapa pentingnya mengetahui asal-usul produk perikanan, perlu traceability, perlu memahami apa yang disebut Marine Stewardship Council sebagai protokol dalam jalur-jalur perdagangan.

“Hal yang dulu belum jadi perhatian tetapi sekarang justeru sangat menarik dan penting jadi fokus teman-teman LSM,” katanya.

Simpulan

Pertama, jika dikaitkan kebijakan, praktik atau adopsi PLSD dapat berkaitan dimensi kebijakan pembangunan dengan mengedepankan perhatian pada aspek dalam atau inner system tatanan dan outer system secara komprehensif sebagaimana menjadi substansi PLSD ini. Jadi ada semacam pemeriksaan dimensi, relung atau penguat tatanan.

Kedua, pada aspek perencanaan, adalah tugas para LSM atau fasilitator pembangunan di pesisir dan laut untuk mempertemukan rencana komunitas lokal dengan rencana pemerintah atau mitra lainnya yang oleh Paharuddin Doddy sebagai menyiapkan ‘Big Data’ baik itu gagasan proposal, program atau pengalaman LSM memfasilitasi program sehingga dengan demikian ada tempat ‘menengok’ situasi.  

Ketiga, perlunya kompetensi perencana atau aparat terdepan termasuk LSM untuk aktif  memfasilitasi  penyadaran, pengorganisasian dan advokasi sesuai ciri sistem kemasyarakatan local. Karakter masyarakat pesisir sangat berbeda dengan pedalaman atau agraris yang oleh Kamaruddin Azis perlu diantisipasi dengan kompetensi, kesabaran dan kesediaan untuk mendengar dengan bijaksana. Kompetensi ini bisa diperoleh dengan ikut pelatihan-pelatihan atau membiasakan diri untuk mencatat temuan-temuan lapangan, baik melalui observasi atau obrolan dengan warga.

Keempat adalah fokus pada RON. “Jadi saran saya ke teman-teman, untuk bisa buat program atau kegiatan kita perlu petakan kebutuhan lapangan. Kita bisa mulai dengan memetakan RON dan pada saat yang lain kita petakan juga bagamana rumah tangga pada posisi Local Community-nya dan potensi yang ada, yang kemudian dapat mendorong perubahan,” jelas Doddy sembari merinci unsur-unsur dalam peta 9 elemen rumah tangga pada dimensi pesisir dan pulau-pulau.

“Tapi intinya, PLSD kita bisa mulai dari sembilan elemen rumah tangga itu. Mau fokus di mana? Mau fokus fisik, manusianya atau teknologinya?” tutup Doddy terkait perlunya memastikan minat atau ketertarikan LSM untuk fasilitasi. (*)