Kakao, Kelindan SEE dan ‘Komandan Back to Cacao’

MAKASSAR – Pemerintah menegaskan akan meningkatkan ekspor kakao tiga kali lipat lima tahun ke depan. Direktorat Jenderal Perkebunan merilis produksi kakao 2019 mencapai 596.500 ton dan ditargetkan dapat menyentuh angka 970.830 ton pada 2024 mendatang.

Banyak pihak menyebut ambisi ini berlebihan apalagi data yang disebutkan jauh berbeda data ICCO atau Organisasi Kakao Internasional yang menyebut produksi nasional 2019 hanya sekitar 220.000 ton, turun jika dibandingkan periode 2017/2018 yang mencapai 270.000 ton. BPS merilis volume impor biji kakao selama periode Januari– Oktober 2019 207.131 ton atau naik 0,43 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang berjumlah 206.234 ton.

Memahmi dimensi kakao

Memahami peta perkakaoan bisa dimulai dengan membuka pertanyaan. “Berapa harga segelas coklat hangat yang kita minum di gerai mall? 10 ribu?” Berapapun harganya, segelas coklat setara 5 gram powder atau bubuk kakao.

Lalu berapa harga 1 kilogram biji kakao kering? Antara 32 ribu hingga 34 ribu atau 50 ribu jika kakao hasil fermentasi. 1 kilo kering setara 200 hingga 250 gram powder.

Nah, sila bandingkan harga antara biji dan nilai 1000 gram powder di gerai-gerai coklat di kota anda. Jauuuuh bedanya.

Penulis berbincang dengan teman lama, Hasrun Hafid, mantan Farmer Organization Specialist untuk proyek Success Alliance Sulawesi Tenggara, (25/5/2020) terkait realitas dan isu-isu yang berkaitan dengan salah satu komoditas penting asal Indonesia ini.

Pertemuan dengan Hasrun dan beberapa teman keren lainnya saat penulis bergabung dengan grup Whatsapp alumni proyek Success Alliance, satu upaya yang ditangani oleh satu LSM Amerika bernama ACDI/VOCA dalam kurun tahun 2000-an dalam mendorong pengelolaan tanaman kakao secara berkelanjutan di tiga provinsi Sulawesi, Sulsel, Sultra dan Sulteng.

Ada dua inti kegiatan; pelaksanaan sekolah lapang kakao dimana salah satu tujuan utamanya adalah memberangus serangan hama penggerek buah kakao (Cocoa Pod Borer) dan pengorganisasian petani.

Senang bertemu kembali dengan kawan yang sarat pengalaman di dunia perkakaoan. Saya menyesap realitas terkini perkakaoan, isu-isu yang membelitnya serta upaya-upaya yang telah dijalankan lalu menulisnya dengan random, tak terlalu sistematis tapi bisa menuntun kita pada realitas, isu dan solusi yang bisa dijadikan prioritas. Simak yuk!

Di grup Whatsapp saya bertanya berapakah gerangan jumlah petani kakao di Indonesia, Sulawesi, atau per provinsi di Sulawesi. Tidak ada rilis resmi yang dipegang kawan-kawan itu tetapi mereka menyebut bahwa untuk Sulsel saja dari tahun 2000 hingga saat ini telah berkurang hingga 50 persen atau sekitar 40 ribu hingga 50 ribu. Di Kabupaten Luwu Utara, dari 35 ribu merosot ke 23 ribu.

Penggambaran sederhana tersebut disamaratakan dengan lokasi-lokasi lain di Indonesia, terutama di Sumatera dan Bali.

Ada beberapa pertimbangan mengapa lahan kakao ini semakin berkurang, lahan dan petaninya yang mencapai 50 persen dalam rentang 10 tahun. Hal yang penulis sebut sebagai dampak atau muara kelindan beberapa aspek krusial seperti sosial, keekonomian dan lingkungan atau ekologi, kita sebut saja ‘SEE’.

Penurunan produksi kakao Indonesia atau Sulawesi secara umum. Ini disebabkan lahan kakao yang semakin berkurang serta produksi yang tak lagi sehebat masa-masa sebelumnya. Aspek keekonomiannya tak lagi menggiurkan, bisa jadi karena usia tanaman bisa jadi karena petani yang tak lagi antusias.

Muhammad Amin, mantan Field Technician Success Alliance untuk wilayah Kecamatan Mappedeceng Luwu Utara realitas saat ini menunjukkan bahwa bahwa banyak petani kakao masih belum optimal dalam memenuhi kebutuhan nutrien tanamannya, ini berkaitan kemampuan ekonomi sekaligus mentalitas berkebun.

Menurutnya, banyak tanaman kakao yang berhasil disambung samping atau diremajakan tetapi dalam prosesnya petani tidak imbangi dengan nutrisi, pupuk atau perlakukan terukur lainnya.

Bagi Amin, ini berkaitan mindset petani. Cara pandang pragmatis dan terkesan apatis dengan hanya membiarkan kakao tumbuh tanpa perawatan, tanpa pemangkasan, tanpa sanitasi yang baik. Akibarnya tanaman tidak produktif belum lagi penggunaan bahan kimia atau pestisida yang masif.

Agus S. Husein, mantan FT lainnya sembari bercanda menyebut ada 5 persen petani kakao sudah ganti tanaman sementara 45 persen lainnya tak lagi merawat atau mengikuti prosedur cara bertani yang baik.

Jadi tidak heran jika saat ini Indonesia masih mengimpor dalam jumlah besar raw material dari Afrika seperti Ghana, Pantai Gading hingga Amerika Latin.

“Kita seperti menunggu kakao menghilang di tahun 2030,” sebut Agus.

Relasi usaha

Salah satu isu yang juga perlu dibereskan adalah belum padunya atau ada kerjasama mutualistik jangka panjang antara petani dan swasta.

Yang banyak mengemuka adalah saling kritik. Pihak industri menyalahkan petani kakao yang tidak bisa menghasilkan produksi dengan mutu yang bagus, masih tradisional dan mau cepat untung sementara di sisi lain, petani menyalahkan pedagang yang hanya mengejar untung tanpa memberi apresiasi terhadap nilai tambah ke petani kakao seperti biji kakao yang difermentasi.

Terkait impor kakao, jika mengutip data ICCO, RI terus impor kakao, bahkan dalam tahun 2019 kuantitanya lebih besar dari produksi dalam negeri saat ini. impor mencapai 234 ribu metrik ton bandingkan dengan produksi dalam negeri hanya sempat tercatat sebesar 217 ribu metrik ton sebagaimana hasil pencatatan ICCO.

Jelas sekali bahwa memang ada yang perlu dibenahi, pada tatanan manajemen dan teknis. “Ini supaya kita tidak salah urus terus dalam industri ini,” ucap imbuh Hasrun.

Menurutnya, cuma Indonesia negara produsen kakao yang produksi kakaonya sebagian besar 95 persen non fermentasi atau asalan, sehingga biji kakao Indonesia tidak bisa dijadikan bahan utama pembuatan coklat. Kenapa? Karena aroma coklat dan rasa yang enak dihasilkan dari biji kakao yang telah difermentasi.

Dia melanjutkan. “Yang aneh, tak satupun negara penghasil kakao di dunia ini yang tidak melakukan fermentasi karena produk akhir adalah coklat. Tapi aneh juga, sebab hanya Indonesia yang memproduksi biji asalan. Jadi jangan heran jika Indobesia tidak bisa mendominasi produk,” lanjutnya.

Yang terjadi saat ini, kakao Indonesia sangat kurang di pasaran domestik dan internasional, namun harga tetap tidak naik.

“Ini kenapa ya? Untuk tingkat Asia, kontribusi kakao pada pasar global cuma 11 persen dan Indonesia secara umum mendominasi di Asia tetapi tidak terpengaruh signifikan pada nilai ekonomi atau livelihood petani kita. Bahkan impor telah diusulkan  untuk dikenakan tanpa pajak alias 0 persen dan juga lebih murah,” ucap Hasrun.

Dia menyatakan bahwa ini berkaitan dengan beberapa aspek atau dimensi, sosial, ekonomi hingga politik. Ada kelindan antara kebijakan dan dominasi korporasi pada aras lebih tinggi.

Dia setuju dengan Muhammad Amin dan Agus bahwa pada tingkat grass root harapan agar mutu diperbaiki, produksi dibuat konsisten dan terjaga juga tak mudah sebagaimana banyak didorong oleh organisasi masyarakat sipil atau NGO internasional.

“Faktanya memang petani kita berat untuk melakukannya (fermentasi) sebagai value added,” katanya.

Terkait fermentasi kakao, karena nilai ekonominya, maka sudah ada Permentan No. 67 tahun 2014 yang mewajibkan fermentasi yang kemudian direvisi dengan Nomor 51 tetapi tetap tidak tidak berjalan.

Dia juga membaca bahwa sebenarnya, beberapa organisasi petani terbentuk dan berjalan pada awalnya tapi memang ada isu internal yang klasik. Ini berkaitan manajemen dan situasi eksternalnya.

“Dengan adanya sertifikasi kakao, ini menjadikan kelembagaan petani hanya jadi jargon karena para pelaku menghendaki sebagai pemilik sertifikat. Hal ini juga wajar karena investasi sertifikasi juga mahal. Berbeda di Amerika Latin misalnya, ada koperasi yang menaungi petani dan menjadi pemegang sertifikat. Di sisi lain, buyer nego langsung dengan koperasi bukan pada individu,” jelas alumni Pertanian Universitas Haluoleo Kendari ini.

Situasi di atas memang dilematis, ceruk pasarnya bisa jadi hanya 5 persen tapi pasar tetap ada. “Pertanyaan terbesarnya, produk kita mau dibuat apa? Cuma pencampurkah? Kalau mau dilirik pasar sudah saatnya buat specialty, tanah kita unik,” saran Hasrun.

Tetap berpeluang

Meski demikian, Hasrun, praktisi kakao yang telah 20-an tahun lebih bergulat di isu ini menyatakan tidak semua wilayah di Indonesia dimana petaninya enggan melakukan  fermentasi karena harga rendah dan minimnya premium.

“Buktinya, petani di Jembrana Bali melakukan fermentasi tetapi harganya make sense. Di Bali, rata-rata harga fermentasi mencapai Rp. 50,000/kilo bahkan untuk nibs Rp 100,000/kg ini baru mantap di tingkat petani,” sebutnya.

“Tapi di Sulawesi, dimana sentra kakao premi fermentasi hanya dihargai premi Rp  2000 perak sebagai bonus harga fermentasi. Sementara susut biji kakao yang difermentasi rata-rata jika dibandingkan biji asalan yield-nya sekitar 5 persen, ditambah lamanya waktu yg dibutuhkan 8-10 hari normal untuk proses dan penjemuran dimana minimal premi Rp 5000 di atas biji asalan. Yang itu belum bisa terjawab oleh pasar,” sebut Hasrun.

“Semakin tidak bisa tidur kalau memikirkan nasib kakao kita, jika mau berdamai ikut ritme yang ada,” tambahnya gamang.

Yang terjadi di Bali menjadi kabar baik untuk industri atau dunia perkakaoan. Hal serupa juga terjadi di Aceh atau sebagian wilayah Sumatera yang bisa ‘move on’ dengan kakao fermentasi meski masih parsial.

“Ini yang saya maksud, kalau di Bali dan juga di Aceh, dengan volume kecil sudah ada supply fermentasi. Pasar kakao fermentasi dengan harga 50 ribu per kilo  tapi paling banyak 1 ton sebulan. Sementara di Afrika sudah fermentasi tapi harganya murah dibandingkan biji kakao Indonesia,” tandas Hasrun.

Menurut penelusuran, saat ini sekurangnya ada 23 perusahaan yang stabil atau well established di Bali. Permintaan memang kecil atau 200 ton per tahun tapi ada celah untuk ceruk pasar. Perusahaan Valhrona perusahaan asal Prancis disebut akan mendirikan pabrik di Tabanan Bali  dengan kapasitas 300-400 ton per tahun, ada peluang untuk biji fermentasi. Ini bisa bermakna bagus jika tumbuh pula industri  rumah coklat yang membeli biji fermentasi dengan harga tinggi.

Penulis bertanya, kenapa kakao di Afrika harganya jeblok padahal sudah difermentasi? Jawabannya karena di Afrika semua dikontrol oleh Pemerintah, harga dipotong oleh Pemerintah. Yang diterima sekitar petani 60-70 persen dari harga terminal.

Namun, kebanyakan input berupa pupuk dan pestisida serta bahan tanam didstribusikan dan dikontrol oleh Pemerintah. Di Indonesia relatif lebih baik, farm gate sekitar 80 hingga 92 persen karena free market.

Isu lain yang perlu mendapat perhatian seperti yang disebutkan Hasrun di atas adalah posisi Indonesia yang lebih banyak sebagai ‘pencampur’ produk negara lain.

Dalam praktiknya, standar biji fermentasi hanya 80 persen fermented. Itu artinya, ada 20 persen biji unfermented (slaty) dan kebanyakan biji kakao ini yang dihasilkan dari Indonesia. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah perlunya solusi keuangan. Selama ini, berharap dari bank juga belum efektif karena butuh collateral atau agunan dan technical guarantee.

Kemampuan petani

Seperti apa produksi petani kakao, idealnya? Rekor petani kakao kita bisa beragam dalam memproduksi. Ada petani yang bisa dapat 3.8 kg per pohon (kering) atau bisa juga kurang dari itu. Bahkan tidak ada produksi sama sekali. Produksi berkaitan dengan komitmen petani dalam mengelola kakao dengan pendekatan Good Agriculture Practices (GAP) yang konsisten.

Seperti disampaikan Muhammad Amin sebelumnya, masih adanya ketidakkonsistenan petani yang  dipengaruhi oleh biaya investasi yang harus dikeluarkan oleh mereka seperti pemupukan yang notabene butuh mimimal 5 juta per tahun adalah hal yang perlu dituntaskan oleh semua pihak termasuk Pemerintah jika ingin menggenjot produksi ini.

Pengalaman-pengalaman proyek kakao yang sangat banyak dan luas dalam 20 tahun terakhir harusnya bisa menjadi dasar dalam perencanaan atau target Pemerintah tersebut.

Ada beberapa contoh program asistensi atau konsultasi perkakaoan tetapi tapi pertanyaannya, berapa petani yang bisa diubah? Ada berapa petani yang bisa diharapkan jadi pemasok kakao untuk kemudian diekspor? Inilah yang butuh pendekatan yang lebih holistik.

Jika menggeledah lebih dalam, pada tingkat rumah tangga petani kakao, ada faktor kebutuhan rumah tangga yang membuat target petani kakao bergeser atau tidak sesuai harapan.

Misalnya, hasil panen seharusnya ada biaya investasi pupuk tetapi dialihkan untuk hal lain. Sehingga kakao tidak mampu menghasilkan lebih tinggi, mau ganti tanaman juga butuh modal sementara ada kekhawatiran repayment akan menjadi masalah.

Muara ‘SEE’

Jadi jelas sekali bahwa target produksi tiga kali lipat Pemerintah hanya bisa tercapai jika laju penurunan lahan dan produksi kakao Indonesia atau Sulawesi secara umum bisa ditekan. Caranya? Dengan memahami kelindan sosial, ekonomi dan daya dukung ekologi seperti disebut di atas melalui formulai kebijakan yang berpihak (dan konsisten) ke petani kakao. Menarik gagasan seorang kawan yang menyebut perlunya ‘kaum muda kembali berkakao’.

Pemerintah harus mendorong adanya gerakan nasional katakanlah ‘Komandan eh Kementan Back to Cacao’. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang familiar dengan panggilan Komandan bisa menjadi trigger untuk memanggil kembali ‘calling back the spirit of’ kaum muda ke lahan-lahan kakao yang selama ini idle atau dibiarkan menua dalam keputusasaan.

Lalu, pada saat yang sama Kementan di bawah kepemimpinan SYL bisa memerintahkan dukungan yang militan dan spartan pada peningkatan kapasitas petani kakao dan pelaku swasta yang terukur, menata kelembagaan yang partisipatif dan kolaboratif dengan LSM atau swasta, lalu ada fasilitasi perbaikan daya tawar petani dan kelembagaannya di aspek pemasaran dan jaringan bisnis.

Hal-hal tersebut mungkin sudah jamak dilaksanakan tetapi sekadar program tanpa atensi dengan ‘militansi’ yang kuat, sekadar business as usual. Perlu terobosan layaknya Komandan dan Prajurit di medan kakao.

Adanya gairah Pemerintah untuk menggiatkan riset pertanian seperti adanya Badan Riset Nasional, ditambah komitmen meningkatkan produksi kakao tiga kali lipat adalah momentum bagus sekaligus peluang untuk bisa mengambil bagian di dalamnya. Dengan kerja keras dan kerjasama, Indonesia akan bisa berjaya kembali di urusan perkakaoan. Percayalah! (*)

Penulis:

Kamaruddin Azis (Koordinator Pelatihan Provinsi Sulsel Success Alliance (2004-2005)