Imbas Pandemi Covid-19 dan Desa di Ujung Kematiannya

COMMIT – Bila ada yang bilang desa-desa berada dalam bahaya di era Covid-19, ini pasti dikaitkan dengan kekuatiran pulangnya kaum imgran dari kota. Mudik atau pulang kampung bukan urusan. Masalahnya, bila mereka membawa virus.

Pada saat bersamaan, desa pasti tidak memiliki kesiapan medis untuk menghadapinya. Menakutkan sekali. Tapi itu, biarlah menjadi urusan ‘lockdown’, PSBB dan sejenisnya. Artikel ini menengok dari sudut yang lain.

Seorang sahabat di Universitas Tadulako Palu menulis buku berjudul Desa dalam Bahaya. Ini ditulisnya jauh sebelum pandemi. Saat bincang kecil dengan Mas Eko, (begitu saya sering memanggilnya), sang penulis buku ini. Dia menggelisahkan beberapa hal tentang desa.

Pertama, potensi luas lahan yang tidak tergarap optimal. Padahal, tanahnya subur dan airnya tersedia. Lahan yang terlantar ini dengan mudah dilego ke pihak luar.

Sekarang, lebih bahaya lagi karena lahan dan air tersedia itu, justru makin terancam. Baik oleh deforestasi hutan maupun alih fungsi lahan pertanian. Petaninya berubah status sekaligus profesi dari pemilik menjadi buruh penggarap atau pekerja serabutan.

Tersembunyi

Mungkin yang tidak sempat diungkap adalah proses peralihan aset desa milik individu tersebut. Di samping karena memenuhi kebutuhan hidup sehari hari atau hajatan keluarga. Juga, karena tidak mampu lagi bayar pajak yang mendadak naik karena nilai obyek pajak (tanah) yang naik akibat akses yang terbuka. Misalnya pembukaan jalan yang melewati lahannya. Dari pada tidak mampu bayar pajak tanah, lebih baik di jual agar dapat dana lebih cepat.

Anak anak petani yang sejak semula memang tidak tertarik dengan dunia pertanian. Mereka pergi sekolah ke kota. Lalu, mendapat ilmu dan teknologi yang hanya cocok untuk bermukim di kota. Tidak terpikir untuk pulang kampung, membangun desa. Ini sekelumit sebab yang membuat penulis mengangkat judul, desa dalam bahaya.

Desa itu identik dengan pertanian. Dan, pertanian sama dengan makanan. Kabar terkini menunjukan ada 30 juta terancam kelaparan akibat pemutusan kontrak kerja dan menurunnya daya beli akibat covid 19.

Dunia memperkirakan 1 miliar manusia kekurangan pangan. Lalu, semua negara menghentikan ekspor bahan pangannya untuk melindungi konsumsi dalam negeri. Di sinilah pentingnya kita bicara tentang kedaulatan pangan dari pada ketahanan pangan. Kedaulatan bermakna kemandirian untuk produksi pangan dari tanah kita sendiri. Sedangkan ketahanan pangan lebih menggambarkan ketersediaan pangan yang sumbernya datang dari mana saja.

Kecenderungan yang mengerikan adalah ketergantungan pangan kita pada negara luar.  Bahkan, fakta yang lebih mengerikan lagi saat ini adalah hilangnya aset produksi kita. Bahwa, orang lain (Negara luar) telah datang menanam di halaman (lahan) rumah kita (negara kita). Lantas, hasil produksinya mereka jual kepada kita. Maka, covid 19 memberi pelajaran yang sangat berharga.

Potensi produksi

Kegagalan penyediaan pangan punya corak yang variatif. Boleh dilihat secara matematika sebagai fungsi dari  hilangnya lahan pertanian, gagal atau menurunnya produksi per satuan luas dan pola tanam yang belum optimal serta regenerasi dan alih usaha petani. Terakhir, kebijakan atau “political will” dan “budgeting”nya pemerintah.

Dan, seperti uraian sebelumnya, ketersediaan yg bersumber dari impor juga riskan karena semua negara melakukan proteksi untuk kebutuhan dalam negeri.

Karena itu, satu satunya jalan adalah mendorong kedaulatan pangan atau memproduksi mandiri (self production) di tanah kita sendiri. Langkah yang bisa di lakukan segara ada pemetaan potensi produksi dan realisasi produksi.

Membandingkan keduanya bisa beri gambaran tentang optimal tidaknya pemanfaatan sumber daya dan usaha. Bila rasio atau indeksnya lebih besar sama dengan satu, berarti sudah optimal. Lebih kecil dari satu berarti belum optimal.

Kebutuhan

Bila dihubungkan dengan kebutuhan. Status optimal, dan kebutuhan terpenuhi maka tindakan strategis adalah mempertahankan kedaulatan pangannya. Polanya dapat berupa perlindungan kawasan produksi, pembinaan petani (penyuluhan) berkait intensifikasi,  pola tanam dan lainnya.

Bila statusnya sudah optimal, tapi kebutuhan belum terpenuhi, maka strateginya adalah ketahanan pangan.

Segera bangun ketahanan pangan karena ketersediaan tidak bisa lagi didukung dari dalam (kedaulatan pangan). Ketahanan pangan yang ketersediaannya bersumber dari mana saja, pasti terganggu  karena impor diasumsikan nol. Maka, dari luar itu bermakna antar desa, kecamatan, kebupaten dan provinsi dalam negara sendiri.

Di sinilah pentingnya subsidi (gotong royong) antara unit administrasi wilayah terkecil hingga terbesar. RT, RW,  Desa hingga Provinsi. Semuanya butuh kerja sama antar wilayah untuk alasan administrasi maupun alasan ekologis.  Ekologis, karena ada bentang alam yang fungsinya tidak bisa dipisah melalui tata batas administrasi. Di sana ada hutan, danau, sungai dan laut.

Bagaimana kalau statusnya belum optimal, tapi kebutuhan telah terpenuhi ? Berarti, desa ini masih memiliki cadangan potensi produksi yang memadai. Jika kita tingkatkan ekstensitas dan intensitas produksinya, dia bisa mensubsidi  desa-desa minus di sekitarnya.

Sebaliknya, belum optimal dan kebutuhan juga belum terpenuhi maka genjotan (kedaulatan pangannya) masih bisa dilakukan. Jangan berpikir mendatangkan dari luar (ketahanan pangan). Kecuali kalau kapasitas fiskal desanya sangat mendukung dan kita hendak melindungi ekologi lahan dan hutan untuk aset produksi jangka panjang.

Di sinalah relevansinya, mengapa para pemerhati selama ini meminta perlindungan terhadap lahan lahan pertanian dari ancaman alih fungsi. Kita teriak sampai parau, selamatkan hutan kita, danau dan sungai karena dia adalah ibu susunya pertanian. Tanpa mereka,  pertanian akan sulit berkembang. Sekaranglah saatnya untuk dengar dengan hati, teriakan itu.

Tindakan kolektif

Ada baiknya semua bikin pemetaan mikro (micro mapping). Di tingkat nasional, baru hari ini Rabu, 13/05’2020, ada webinar tentang pemetaan makro Indinesia. Poin saya, dorong desa untuk menghitung kemampuan wilayahnya dalam mendukung kehidupan. Komponen daya dukung daya tapung (DDDT) yang ditunjang perhitungan jasa ekosistem (JASEKO) mutlak diseriusi.

Tidak boleh lagi sekadar menggugurkan kewajiban perencanaan wilayah. Dari sini kita bisa melihat status kemampuan kawasan memasok terutama pangan dan air untuk kehidupan di sekitar. Dia menjadi acuan, guna memitigasi atau alternatif solusi yang efektif dan efisien.

Yang juga menggelisahkan kita adalah regenerasi petani yang makin tua (aging farmer) tapi tidak tergantikan.  Karena itu, dalam jangka pendek, dimana kita tidak bisa memprediksi kapan covid 19 akan berakhir maka, diperlukan iktiar kedaruratan untuk menyelamatkan kehidupan harian (daily living).  Karena kita sedang ada di arena perang (fighting for surviving). Maka, semua orang harus bertahan hidup.  Makanan harus terjamin ada.

Untuk itu, dorong pemanfaatan lahan, di kebun, ladang maupun di halaman rumah. Dorong juga sebanyak mungkin orang menjadi petani. Jangan dulu berpikir bisnis dalam mekanisme “supply-demand”.  Semua jadi pemasok, sekaligus konsumen. Ekonominya bernama “subsisten”, tanam untuk dimakan sendiri.  Kalau ada transaksi, dia bernama  barter. Sebab, taruhannya bukan lagi soal untung atau rugi. Tapi, mati atau hidup.  Ekonomis yang bilang bagitu, “If you stop to produce you will die”.

Jadi ternyata, desa dalam bahaya itu, ujungnya adalah ‘kematian’.

Palu, 14 Mei 2020

Penulis Muhd Nur Sanngadji (akademisi Univesitas Tadulako, Palu)