Kita, Sampah dan Gejala Creeping Normalcy

Makassar, COMMIT – Drama kehidupan tak usai jua. Kita terus berdebat tentang seberapa pantas ini, itu. Ihwal alam, nilai kemanusiaan dan rapuh tidaknya tatanan sosial kita. Kita mendebat dampak modernitas, kadar keyakinan dan derajat perubahan.

Padahal, sederhananya, laku kasat harian kita terefleksi dari cara kita menyayat satwa dilindungi melalui selfie, pada karang laut yang diterabas fins selam, pada ikan paus yang sekarat karena memakan sampah plastik. Pada pemihakan kita pada wujud ideal kota modern, pada ambisi membangun kota dengan relokasi, reklamasi.

Banyak hal, termasuk perdebatan dan respon seberapa penting ‘membeli plastik’ di minimarket atau makromarket.  Respon beragam warga dan netters pada ajakan membeli itu, setidaknya menyasar dua ihwal, motif dan karakter.

Tentang motif, kita dapat melihatnya sebagai—cara kapitalis membersihkan dosa-dosa mereka setelah mengambil banyak hal dari alam, ihwal karakter, saya menyebutnya sebagai—kita telah abai pada upaya memperpanjang usia kehidupan alam.

Terlepas dari agenda bisnis di baliknya, bisa jadi penolakan atas ajakan membeli kantung plastik itu adalah ketidaksadaran kita atas kuburan yang telah disiapkan oleh kita sendiri. Kita telah tiba di tepi jurang yang penuh rongsokan peradaban tanpa kita (hendak) menyadarinya.

Sejauh itu?

Sederhana. Saat kita lebih memikirkan nilai sesaat uang di atas pentingnya mengurangi sampah plastik, ketimbang mencari esensi mengapa ‘urgensi tindakan bersahabat dengan ke alam’ itu penting, itu berarti pikiran kita sudah dicekoki mazhab untung rugi materialisme atau kapitalisme atas alam, pada awal kejadian kita. Kita mengabaikan upaya pelestarian harapan jangka panjang, pada cinta alam.

Argumentasi di atas serasa drama tapi bukankah harus demikian? Mencintai alam tak bisa dihitung dengan harga atau efisiensi. Sekali bumi hancur, kita hanya punya pilihan akhir. Mars belum bisa dihuni.

Sejauh itu? Iya.  Praktik mengotori bumi manusia, sungai dan lautan dengan limbah rumah tangga dan segala residu unit-unit produksi untuk mendatangkan profit sudah ada di Tanah Jawa sejak berabad silam.

Sejak penjajahan, penjarahan dan eksploitasi alam menjadi-jadi. Industrialisasi yang hebat di Eropa hingga berimbas ke kampung-kampung, desa-desa di Batavia, di Nusantara.

Ada perubahan ekstrem laku manusia pada diri dan alam sejak mereka bertansformasi dari tradisi dan budaya bercocok tanam serta berburu untuk ‘cadangan’ masa depan menjadi ‘pengejar profit’.

Mereka menerabas norma, adat, kearifan lokal, mengusik tatanan sosial, melumpuhkan organisasi-organisasi informal yang pernah ada.

Tak cukup itu, mereka menguras isi bumi dan mengeruk dasar lautan untuk yang mereka sebut pembangunan. Gedung pencakar langit dan reklamasi kota itu disusun dari kayu-kayu dari Amazon, Kalimantan, hutan Afrika. Batu dari Himalaya, air dari Nil, Papua, Sulawesi hingga pasir dari Lombok.

Sayangnya, kita gagal mengkalkulasi daya tahan alam.

Kita alpa menghitung risiko yang terus menggunung. Deforestasi meningkat tajam di Amazon hingga 29% di tahun 2013 atau 6.000 km2 hutan musnah. Ini bermula sejak tahun 2004 dimana ada 20.000 km2 hutan beralih fungsi.

Kerusakan hutan di tanah air setali tiga uang, 1,1 juta hektar atau 2% hutan kita menyusut tiap tahun. Kekayaan lampau kita senilai 130 juta hektar emas hijau, 42 juta hektar sudah raib. Hampir 2 juta hektar bakau lenyap dari 3 juta harta kita.

Contoh lain, terumbu karang kita. Indonesia dikenal sebagai Amazon of The Sea, terumbu karangya tersebar di lebih 17rbu pulau. Tapi apa, lacur, luasan 75.000 km2 persegi itu musnah hingga 70%.

Saat kita bangga menghasilkan inovasi teknologi, aplikasi perangkat pembangunan yang mencipta gedung pencakar langit, bangunan sedalam inti bumi, mengitari belahan bumi secepat kilat, menghubungkan orang antar benua, seperti yang pernah dimimpikan Nabi Sulaeman, bahwa kelak orang bisa ‘bertemu meski di belahan bumi lain’ kita mencipta liang kehancuran.

Di usia bumi ini, di rentang perjalanannya, kita telah berhasil mencipta banyak hal, banyak hasil tetapi siapa yang mau peperangan? Perubahan iklim, bencana, penyakit aneh, SARS, H5N1, Ziku dan lain sebagainya?.

“Results that nobody wants,” sebut Prof Otto Scharmer dari MIT Amerika.  Perang yang berkepanjangan di Timur Tengah, ISIS, teorisme oleh Barat dan Timur, konflik antar suku, perbudakan, adalah produk-produk yang dikecambahkan oleh modernitas, oleh industrialisasi yang kasat mata.

Demikian pula ancaman tak kasat mata yang hanya bisa dilihat dengan kelapangan mata hati.

“Manusia adalah salah satu mahluk yang menciptakan kehancurannya sendiri,” kata Stephen Hawking.

Ada cara sederhana melihat perubahan dan laku manusia. Melihatnya dari puncak gunung modernitas yang membanggakan dan pada saat yang sama melabuhkan banyak residu, sampah dan racun ke sungai-sungai yang disebut peradaban modern.

Kita lihat saja yang paling sederhana. Produk sampah. Mari ke Jakarta, mari ke Bantar Gebang. Bantar Gebang bukanlah semata tempat sampah. Dia muara laku manusia di Jakarta. Manusia yang bertransformasi dengan menawarkan modernisasi dan industrialisasi.

Disebut muara sebab segala yang berproses dan berkelindan sebagai pemanfaatan sumberdaya alam, laku konsumsi hingga praktik dan etik buang hajat larinya ke Bantar Gebang. Yang tidak sampai akan lolos ke samudera luas, samudera pertanggung jawaban manusia, apakah dia mencintai laut atau tidak.

Belakangan ini, lima tahun terakhir, terjadi peningkatan volume sampah yang hebat. Dari 5.000 hingga ditaksir 8.000 ton perhati saat ini. Diperlukan cara supaya kita di Jakarta tak melulu mencekoki ceruk Bantar Gebang dengan sampah tetapi mencarikan cara yang lebih inovatof dan bermoral.

Seperti kata Otto Scharmer, ekonom teknokrat asal Jerman ini, dia mengatakan bahwa kita tak bisa hanya bangga menghasilkan tetapi juga bangga mengelola dengan utuh. Kita harus bersih dalam pikiran. Menyibak tirai jendela kehidupan agar empati terbit pada sesama pada alam, agar rasa mencinta pada alam mengemuka sehingga tindakan kita menjadi bukti bahwa kita sungguh-sungguh menyayangi diri, sekitar dan alam raya.

Pabrik-pabrik, restoran-restoran, kedai makan, perkantoran, rumah tangga di Jakarta harus sadar untuk mencintai alam, rumah mereka ketimbang larut dalam ambisi duniawi dan sorak-sorai peradaban.

Kita tidak bisa lagi mencekoki Bantar Gebang dan melarung dosa sampah modernitas dan industrialisasi di Ciliwung, Mookervaart, Angke, Krukut, Grogol, Kali Baru Barat,, Kali Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaram, Kali Jati Kramat, Cakung hingga Kali Malang.

Karena esensi kesejatian manusia ada pada tindakannya pada diri dan sekitarnya, maka ada baiknya kita merenungi hakikatnya.

Siapa kita dan apa yang kita berikan untuk alam? Bukankah itu esensi manusia untuk dihidupkan? Menyayangi alam, hutan belantara, bakau tropis, laut biru berhias terumbu karang, lamun, hingga yang paling palung di Samudera.

Creeping normalcy

Prof Jared Diamond, penulis dan penerima Pulitzer kelahiran Massachussets ini  menorehkan pesan—betapa kita telah menghancurkan diri kita sendiri tanpa menyadarinya. Bahwa apa yang kita lakukan telah mengantar kita ke kuburan penderitaan yang nyaris tak disadari.

Kaum berpikir bernama Homo sapiens ini tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah pilihan berbahaya. Disebut demikian sebab dia mengekspolitasi dan menjerumuskan produk akhirnya ke tempat mereka mengail rezeki, menimba air kehidupan dan menanam masa depan.

Dia menimbun sampah kehidupannya di bumi yang membesarkan mereka. Jika dulu hanya sampah organik, sekarang mereka lebih inovatif. Ditanamnya sampah plastik, limbah racun, nuklir dan lain sebagainya.

Tuan Diamond memberi kita cermin, jutaan orang di Amerika Serikat mengkonsumsi makanan secara berlebihan. Lalu datanglah penyakit kardiovaskular, kanker dan diabetes. Penyakit ini meningkat signifikan dari tahun ke tahun.

Menurutnya, orang alpa bergegas bangun pagi, malas berolahraga, beraktifitas. Itu adalah proses bertahap. Orang-orang tak menyadari sampai mereka berada di rumah sakit dan sekarat.

Mari ganti Amerika Serikat dengan Jakarta, Surabaya atau Makassar.

Nyaris sama bukan? Bukan hanya analogi bangun pagi, ini juga berlaku untuk nelayan, petani, pekebun, pedagang, pialang hingga pengambil kebijakan. Mereka benam dalam lilitan pertumbuhan pembangunan. Yang dikiranya aman-aman sahaja.

Setiap kota di dunia menumpahkan sampah jutaan hingga semiliar ton. Tahun 2025 ditaksir hingga 2 miliar ton. Fakta tentang sampah nasional pun sudah cukup meresahkan. Sampah plastik merupakan persoalan besar karena implikasinya pada ekosistem.

Sebuah riset menempatkan Indonesia sebagai peringkat kedua di dunia penyumbang sampah plastik ke laut. Setelah China, Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan hingga Makassar didapuk sebagai penyumbang sampah utama.

“Satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Di alam, kantong plastik yang tak terurai menjadi ancaman kehidupan dan ekosistem. (Greeneration)”.

Apa yang dikhawatirkan oleh Jarred Diamod itu telah melahirkan kiamat kecil persampahan seperti kejadian longsornya sampah di Leuwigajah, Cimahi pada 21 Februari 2005 silam hingga kebakaran Bantar Gebang tahun 2015. Pertumbuhan kampung kumuh, konflik sosial, ekonomi dan ekologi.

Ihwal ‘alpa bangun’, tak sadar, mati perlahan, itulah yang disebut oleh Jarred Diamond sebagai ‘creeping normalcy’.

Pada sampah juga demikian, kita terus memproduksi sampah. Kita hanya memproduksi tetapi tak memperhitungkan risikonya, pada dataran, sungai dan laut.  Inilah Creeping Normalcy itu. Kita merayap secara perlahan, luka oleh tikaman pisau kehidupan. Oleh kematian seribu luka.

Kita menganggap semua normal saja dengan menebang hutan serampangan, mengikis sungai demi perumahan, menimbun air resapan (watershed) demi perluasan bangunan dan kantor-kantor, membuang sampah ke laut, membom dan membius ikan, menebas bakau dan membuka SPBU dan swalayan.

Orang-orang menganggapnya normal. Inilah cara manusia menata kehidupannya dengan menganggap bahwa upayanya etik dan dapat dipertanggungjawabkan padahal itu adalah tindakan yang menggiring mereka pada perubahan besar yang menjerumuskan ke lembah kehancuran.

Penerapan kantong plastik berbayar adalah salah satu upaya dan kita tidak bisa berhenti di situ. Inovasi, kreativitas, kerjasama, saling sokong, pengaokasian sumberdaya antar pihak adalah niscaya di usia bumi yang kian renta ini.

Kita mungkin tak bisa melihat lagi, Sungai Ciliwung dan kawan-kawan mengalir jernih seperti ketika bidadari bermandi di dalamnya. Atau melihat bebatuan di dasar. Tidak segera tetapi bisa saja menjadi sedia kala dengan tata kelola yang seimbang, manusia dan bertameng modernisasi semu. Namun kita bisa mengupayakannya dengan perlahan, dengan tekad dan keyakinan, sebab jika tidak dilakukan saat ini berarti kita mmpercepat hasil akhir ‘creeping normalcy’ itu.

Kita bisa melihat sungai-sungai di Jakarta mengalir dari Timur ke Barat dengan nyaman dan aman jika fungsi utamanya sebagai penyimpan air untuk generasi.

Misalnya, kita tak menutup semua pori sempadan sungai kota dengan beton sebab di darat semua tanah telah ditutup rapat dengan cor semen.

Bisa?

__

Ditulis oleh Kamaruddin Azis (Sekretaris Eksekutif Yayasan COMMIT)