Towuti dan Orang-orang di Pesisir Mahalona (Bagian 1)

COMMIT – Pada kesempatan ini, Admin berbagi cerita perjalanan saat berkunjung ke Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur. Catatan ini bisa disebut sebagai remah pengalaman, meski demikian, tetap dianggap penting sebab berkaitan dengan salah satu kawasan yang dianggap strategis untuk pembangunan Sulawesi Selatan ke depan. Berikut laporan Kamaruddin Azis.

***

Luwu Timur dikarunia beragam sumberdaya alam. Dari puncak gunung, ngarai, sungai, danau hingga pesisir-laut dengan luas mencapai 6.945 kilometer persegi atau 11% dari luas Sulawesi Selatan.

Aneka barang tambang juga ada seperti nikel hingga emas. Pun komoditi pertanian, perkebunan, peternakan hingga perikanan. Bukan semata kekayaan alam tapi juga keunikan tradisi, norma adat dan daya tahan tatanan komunitas.

Salah satu kecamatan di Luwu Timur yang kaya potensi itu adalah Towuti. Wilayah administratifnya meliputi Mahalona, kawasan strategis di sekitar Danau Mahalona yang luasnya 25 kilometer persegi.

Admin COMMIT telah dua kali berkunjung ke sana yaitu ke Buangin dan Libukan Mandiri dan menaruh perhatian pada konfigurasi kelindan sumberdaya alam, daya tahan warga dan denyut kehidupan perdesaan.

Hasil kunjungan tersebut kemudian dipadukan dengan cerita Faizal Halim, aktivis organisasi masyarakat sipil asal Towuti pada 6 Agustus 2018 dan merekam aliran informasi berharga terkait kawasan menurut pengalaman dan pengetahuan Ical, begitu ia kerap disapa.

Dia mantan fasilitator kecamatan PMDM sebuh program kerjasama Pemkab Luwu Timur dan PT. Vale yang kini telah bertransformasi menjadi program Pengembangan Kawasan dan Pemberdayaan Masyarakt (PKPM). Dia bertugas sebagai pendamping PKPM di Kecamatan Towuti.

Pemandangan di Malili, ibukota Luwu Timur (dok: K. Azis)

Bermula dari obrolan penulis dengannya di Kawasan Pontada, Sorowako, terkait potensi perikanan Danau Matano – tentang ikan Buttini dan jenis endemik lainnya yang mulai mengalami deplesi – sosok berambut gondrong tersebut berbagi pengalaman dan pembacaannya pada potensi desa-desa di sayap Pengunungan Verbeek, yaitu Towuti dan spesifik Kawasan Mahalona. Obyek yang menarik perhatian untuk dituliskan.

***

Ical dan keluarganya berdiam di Desa Langkea Raya. Langkea bertetangga Baruga.

“Ada banyak desa di kawasan ini. Bisa dimulai dari Lioka yang merupakan kampung yang dahulunya banyak dihuni Komunitas Padoe termasuk ada Wawondula,” katanya memulai penjelajahan di Towuti.

“Desa selanjutnya adalah Asuli, Matompi, Timampu atau desa dimana terdapat pelabuhan penyeberangan Timampu, dengan perahu atau kapal,” lanjutnya.

Di sepanjang poros Asuli lalu tembus di Wawondula hingga ke timur terhampar perkebunan, hutan, alur sungai dan jalan-jalan masih dalam pengerjaan.

Saat lepas Wawondula, Danau Towuti yang mahsyur itu terlihat di sayap kanan jalan. Perjalanan ke timur serasa menyiksa sebab sebagian besar masih berupa tanah merah, sebagian berbatu dan kita bisa jadi akan merana berkelanjutan kalau hujan datang dalam jangka waktu yang lama.

Selain Timampu, kata Ical, ada Desa Pekaloa yang didiami warga keturunan Padoe dan Sorowako. Menyusul rumpun Desa Mahalona Raya yang terdiri dari terdiri Desa Tole, Kalosi, Libukan Mandiri, Buangin, Mahalona atau acap disebut Desa Lampesuwe atau desa yang berjuluk ‘alat peniup bara’ panjang.

“Lampesuwe disebut sebagai desa dengan sejarah kebudayaan tua yang masih dipertahankan. Banyak orang-orang dari desa yang dikenal mempunyai kesaktian,” sebut Faizal.

“Di Mahalona, orang-orang dari berbagai kampung dan desa-desa lalu lalang keluar masuk hutan belantara demi hasil hutan,” tambahnya.

Pemandangan di sekitar Danau Towuti(dok: istimewa)

Mahalona menurut Ical, tak hanya sebagai desa administratif, di sana terhampar pula beragam sumber daya. Salah satunya kerbau serta vegetasi-vegetasi ekonomi.

“Kerbau Mahalona terkenal sebagai kerbau petarung,” katanya. Selama ini kerbau-kerbau Mahalona adalah peserta tarung kerbau di Toraja, Harganya puluhan juta dan selama ini terutama tahun 90-an adalah penarik kayu-kayu yang banyak diolah dari sekitar Pegunungan Verbeek.

Tak hanya itu, dia juga menceritakan bahwa Mahalona dulunya adalah kawasan penghasil damar, ragam kayu hingga rotan. inilah daya pikat Mahalona.

“Dahulu, orang di sana mudah saja mengklaim sebagai lahannya ketika telah menggunakannya sebagai sumber damar. Ketika damar diambil, mereka juga mulai mengklaim hingga berhektar-hektar,” kata Ical.

Tentang pemanfaatan damar ini, salah satu kawasan yang sangat dinamis berkembang seiring berjalannya program transmigrasi dan dikenal sebagai pusat perdagangan adalah Desa Timampu.

“Orang-orang Mahalona atau yang datang dari sekitarnya selalu datang ke Timampu,” imbuh Ical.

Bertahun-tahun lalu, ada kecenderingan bahwa banyak lahan diklaim warga tanpa SKT, tanpa bukti bayar PBB meski itu lokasi yang dimasukkan sebagai hutan lindung.

Hutan-hutan di sekitar Verbeek adalah juga habitat bagi tanaman rotan, produsen madu alam dan vegetasi ekonomis lainnya yang banyak diburu warga.

“Bukti-bukti usaha rotan itu pada banyaknya drum-drum tempat pemasakan rotan sebelum dibawa ke Makassar,” imbuh Ical. Bukan hanya tanaman menjalar seperti rotan tetapi juga rusa dan babi hutan.

***

Masih tentang Mahalona, Faizal dan cerita lainnya.

Di kenangan Ical, tahun-tahun 70-an hingga 90-an ada sangat banyak pemburu fauna yang sengaja datang ke kawasan Mahalona berburu rusa dan babi. Dia juga mengaku bahwa hingga masa-masa tahun 90-an ketika masih SMP, dia juga melihat bagaimana para pengambil kayu bakar keluar masuk kampung.

“Bahkan saya juga ikut mengambil sisa kayu, kami sebut bangkuli pohon, dijadikan bahan bangunan, seperti papan,” katanya.

Bangkuli diambil dan dijadikan papan, panjangnya bisa sampai 2 meter, dipakai untuk pengikat jembatan dan pagar rumah.  Bangkuli juga diminati para pembuat kayu dari Desa Sukamaju.

“Bukan hanya bangkuli tetapi juga serbuk gergajiannya, jadi banyak nilai ekonominya,” imbuh Faizal.

Di seberang danau Towuti terdapat lima desa potensial dan telah berdenyut melalui beragam program pembangunan.

“Ada Desa Loeha, desa yang juga punya dermaga namum masih menggunakan kayu. Ada Desa Tokalimbo, desa yang sudah dilengkapi dengan dermaga beton yang dibangun atas dana ABPN.  Selanjutnya Desa Bantilang yang juga punya pelabuhan yang biasa disebut Dermaga Landak,” sebutnya.

“Dermaganya dibangun oleh dana PMDM PT. Vale. Konstruksinya serupa bronjong yang ditimbun dan dijadikan tempat sandar perahu. Lebarnya sekira 40 meter dan 30 meter ke depan,” tambahnya.

Setelah itu masih ada desa-desa lain yaitu Desa Ranteangin dan Desa Masiku. Desa-desa ini berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Ragam komunitas

Sebagai satu kawasan Mega Ekosistem, kawasan Verbeek dihuni beragam etnis. Mereka terbentuk, bertahan dan berkelindan dengan sumberdaya yang ada dengan mengembangkan nilai ekonomi yang melekat padanya.

Tempat perendaman merica (dok: F. Halim)

Sebutlah etnik yang mendiami batang sungai Rongkong sebagai Orang Rongkong, lalu Suku Toraja, kemudian suku-suku Padoe, suku asli Soroako yang mendiami pesisir Towuti. Ada pula Suku Bugis, Makassar, Jawa, Toraja.

Mereka bertahan dan berkembang di sayap Mahalona, sebuah kawasan danau yang dilingkari banyak perkampungan. Perkampungan yang merupakan oase harapan dalam melanjutkan generasi mereka.

Di pengetahuan Ical, sebagaimana dia kerap berinteraksi dengan warga desa, Kampung Baru di Pekaloa banyak dihuni orang-orang Sorowako asli. Mereka masuk kawasan Passitabe atau singkatan dari Padoe, Karongsi dan Tambee di Matompi serta Kampung Baru Pekaloa.

“Kalau bahasa Soroako lain juga bahasanya, mereka ada di seberang danau, ada di sekitar Desa Bantilang namun tetap membaur dengan suku Padoe,” urainya.

Menurut Ical, mata pencaharian dari waktu ke waktu juga berubah seiring minat dan permintaan pasar. Kampung lalu desa, terbentuk karena ada sumberdaya alam yang terhampar luas dari danau seperti Matano, Towuti dan Mahalona. Dari hasil danau, hutan, hamparan sawah ladang hingga komoditas-komoditas unggulan yang masuk belakangan seperti kakao, sawit dan merica.

Saat ini lagi trending bercocok tanam merica meski petani sawah juga ada di sekitar pesisir, di 18 desa.  Produksi merica Luwu Timur disebut mencapai sekira 4 ribu ton pertahun dengan luas lahan merica disebut mencapai 5000-an hektare.

Dengan demikian, praktik menanam merica tidak semata menjadi pekerjaan baru tetapi juga berpotensi menjadi ancaman bagi hamparan hutan yang masih perawan di beberapa titik di Mahalona.

Tak hanya itu, tapi juga menimbulkan friksi antara Pemerintah terutama hutan lindung dan wilayah konsesi tambang. Puluhan ribu orang disebut bertautan dengan usaha kebun merica ini yang membutuhkan banyak kayu sebagai tempat rambatan merica.

“Karakter dasarnya adalah petani namun mereka juga punya banyak lahan-lahan kakao dan merica. Kakao pernah booming tahun 90-an namun perlahan redup dan digantikan budidaya merica,” jelas Ical.

Sunset di atas Luwu Timur (dok: istimewa)

Belakangan ini, seiring perkembangan kawasan, persoalan kriminalitas juga masih menjadi persoalan terutama jika ada panen besar merica.  Pencurian marak ketika panen merica tiba, ketika merica direndam atau dikeringkan dan disimpan di gudang.

Beberapa tahun terakhir, ketika harga merica selangit, kita akan mudah mendapat warga yang memboyong Fortuner dan Pajero.

“Dulu harganya mencapai 100 hingga 150 ribu perkilo, sekarang ini antara 50 hingga 60 ribu perkilo,” kata Faizal.

“Saya kira ada 90 persen warga Towuti mempunyai lahan kebun atau bekerja di kebun. Apalagi sejak booming merica,” imbuh Ical.

“Mereka ramai-ramai buka lahan. Beberapa waktu lalu harga merica mencapai Rp. 100 ribu/kilo, bahkan sampai 150 ribu. Orang ramai-ramai investasi,” terang Faizal yang juga mengaku punya lahan tak seberapa di Matompi.

Meski demikian, menurut Faizal, saat ini merica menjadi persoalan sebab satu persatu lahan warga mulai kena persoalan.

“Meski pernah panen besar, belakangan ini sudah banyak lahan berisi merica yang mati tiba-tiba, “ katanya.