Mereka yang Menggurat dan Menggugat

Esai tanpa pagar (sumber: tokobuku.infosastra.com)
Esai tanpa pagar (sumber: tokobuku.infosastra.com)

RESENSI BUKU: ESAI TANPA PAGAR

100 Pilihan Literasi “Koran Tempo Makassar 2013”.

Oleh: Kamaruddin Azis
Sektretaris Eksekutif Yayasan Prakarsa Masyarakat untuk Transformasi (COMMIT), Makassar.

Jujur saja, saya bukan pembaca buku yang ngotot. Meski menyimpan relatif banyak buku bagus di lemari namun saya malas merengkuhnya. Namun, buku “Esai Tanpa Pagar: 100 Pilihan Literasi Koran Tempo Makassar 2013” adalah pengecualian.

Saya khatam membacanya jelang piala Dunia Brasil 2014 tuntas. Buku bersampul hitam bercover gambar sehelai bulu burung putih ini telah membuatku khusyu’ membaca halaman demi halaman meski perhelatan sepakbola tahunan itu juga amat menggoda.

***

Di lembaran pembuka buku itu, gaya Ahyar Anwar (Alfatiha untuk beliau) menguak Insting-Insting Kematian, sungguh memikat. Saya membacanya di atas Teluk Bone sembari memandangi hamparan Pulau-pulau Sembilan sepulang dari Wakatobi. Tentang makna kepulangan yang disengaja; kematian.

Selain Ahyar, ada Alwy Rahman, Andi SW. Handayani, Anwar J. Rahman, Aslan Abidin, Dul A. Rahman, Erni Aladjai, Fadhli Amir, Fitrawan Umar, Hendragunawan S. Thayf, Idham Malik, M. Aan Mansyur, Mohd. Sabri AR, Muhary Wahyu Nurba, Muin Kubais M. Zeen, Mulyani Hasan, Nurhady Sirimorok, Shinta Febriany, Wawan Kurniawan, dan Willy Kumurur.

Penyair Amarzan Loebis memberi prolog bahwa para penulis buku ini lebih tertarik ihwal ‘mikro’ yang bisa diolah ke solusi. “Kemikroan dalam buku ini bukanlah kesempitan berpikir melainkan justru semacam ijtihad merayakan kedalaman dan ketajaman,” tulis Amarzan.

Bak mewakili 19 penulis lainnya, M. Aan Mansyur sebut bahwa mereka menulis sebab harus menunjukkan perhatian pada masalah-masalah di sekitarnya. Membaca realitas, buku, pikiran para tokoh berpengaruh dunia adalah jendela pengetahuan. Aan mengutip Orwell, menulis (di buku ini) adalah aktivitas politik sementara membaca adalah tindakan subversif, bukan semata hiburan atau hobi.

Aan meminta pembaca untuk menimbang lahirnya inisiatif perubahan ke pembaca dengan menuliskan “Tidak semua orang beruntung bisa menjadi ibu yang mau terjun dari kenyamanan hidup dan mengubah kesedihan menjadi kekuatan, seperti Harriet Beecher Stowe,” tandas Aan (hal.213). Aan juga menunjuk sosok lain yang bisa jadi cermin, seperti Hellen Keller, Edward Osborne Wilson si peneliti serangga. Periset jendela, Matteo Pericoli hingga Arthur Miller yang menyorot metafora orang-orang berpandangan sempit.

Pembeda lainnya di buku ini adalah Sabri AR. Paparannya tentang bahasa, aksara dan Tuhan sangat kuat di esai “Kun dan Tradisi Keaksaraan”. Sabri sangat indah menuliskan filsafat penciptaan dan proses kreatif setelah itu. Kita terhibur dengan menulis Sabri yang dalam. Gaya ini juga tergambar dari esai Hendragunawan S. Thayf yang meliuk dan mengasikkan mengupas cinta dan penghambaan diri padanya.

Buku ini terasa berada di koridor ‘literasi’ yang sesungguhnya karena sosok Alwy Rachman. Ulasannya tentang kebebasan berekspresi, kebudayaan, sastra dan mengapa literasi menjadi penting. Dia juga mengupas sikap banal politisi menjadi bahan lelucon yang baik bagi kehidupan warga kota. Tentang dunia anak-anak, kearifan lokal, demo anarkistis, kemiskinan hingga kritik pada dokter.

Jika ada yang sangat ‘tega’ menohok dan menggugat institusi dan sistem di buku ini maka itu adalah Aslan Abidin. Mengutip Jean Baudrillard, di buku Seduction, 1990 tentang rayuan. Aslan menggugat politisi sebagai perayu yang menipu.

“Rayuan beroperasi melalui pengosongan tanda-tanda dari maknanya,” begitu tuduhnya pada kiprah politisi yang mencampuradukkan estetika dan pengangkangan sosial, penipuan. Aslan, seperti Alwy, Ahyar, Aan, juga marah dengan elite di Makassar, pada jargon dan ekspektasi penguasa yang tak rasional dan lucu.

Setelah membaca buku ini, saya merasakan dan merayakan diri hanyut di dalamnya dan pada saat yang bersamaan mencoba menikmati kata-kata keluar dari pikiran penulis itu dengan lincah, menari dan mengagumkan. Bukan hanya tentang dimensi kota dan laku politisi dan elite Pemerintahan tetapi menertawai gaya hidup orang berharta, berpartai dan berkopiah.

“Simbol agama dan pendidikan tinggi adalah komoditi yang juga mereka konsumsi untuk citra diri. Mereka tetap saja khusyuk membuang sampah di sepanjang jalan raya yang kita lalui,” gugat Aslan (hal 109).

Telak! Kisruh di jalan raya ini menumbuhkan kerinduan Aslan pada film animasi Sponge Bob di negeri Bikini Bottom. Serupa Aslan, Nurhady Sirimorok, Shinta Febriyani juga mencokok Pemerintah yang abai pada perannya mengayomi warga. Tulisan Nurhady tentang Boneka Kecil Bernyanyi tentang Cita-Cita layak diapresiasi sebagai kritik bagi penanganan kesehatan oleh negara yang dianggapnya tak adil dan pilih kasih.

***

Buku yang diperiksa aksaranya oleh Irmawaty Puan Mawar serta diparipurnakan oleh Muhary Wahyu Nurba dan Imam Yunni ini layak dibaca oleh kita semua agar tercerahkan dan dapat mengambil sikap atas realitas yang nyaris serba cacat. Buku ini adalah oase pengetahuan dan kontemplasi di tengah ancaman kemalasan kita membincangkan isu bersama.

Mereka, ke-20 penulis itu sesungguhnya menggurat pesan di sanubari kita untuk tak meratap berkepanjangan pada persoalan kita dan kota, tetapi mengajak melawan ketidakadilan. Sebuah ikhtiar mulia namun langka di dunia yang serba materialistik ini.

Jika ada kelemahan (saya menyebutnya tantangan) pada buku ini maka itu adalah gaya bahasa yang amat rumit (sophisticated) dan membutuhkan energi ekstra untuk mengunyahnya. Masih ada kata berdempet, seperti pada halaman 86, yang mengisahkankan legenda tentang suap. (halaman 86). Kata dan titik rapat, kata dan kata rapat. Masih mending sebab hanya 1-2 halaman. Bandingkan dengan jumlah halaman, 399!

Buku ini pas bagi masyarakat luas terutama mahasiswa, atau sesiapa yang tertarik mendorong perubahan sosialnya, baik untuk diri, organisasi maupun lingkungan. Buku yang diterbitkan Nala Cipta Litera atas sokongan Komunitas Lietrasi dan Koran Tempo ini ibarat oase di tengah minimnya buku-buku berkualitas di kota kita .

O iya, buku ini bisa menambah daftar bacaan bagi yang hendak menjadi penulis efektif, semisal, menggenapkan buku rujuk “Seandainya Saya Wartawan Tempo”, yang terkenal itu.

Sungguminasa, 4 Agustus 2014.